Berita / Nusantara /
Ultimum Remedium, Gitu Bro...
Kepala Dinas LHK Riau, Mamun Murod. foto: tangkapan layar paparan.
Jakarta, elaeis.co - Semua narasumber yang ada pada helat “Sosialisasi Regulasi UUCK beserta turunannya & Pencegahan Karhutla” yang ditaja oleh Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW-Apkasindo) Riau dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Riau kemarin itu, sama-sama menyodorkan pemahaman bahwa pola penyelesaian kebun kelapa sawit dalam klaim kawasan hutan yang sudah tumbuh sebelum November 2020, diselesaikan dengan cara pengenaan sanksi administratif (ultimum remedium), bukan pidana. Tak terkecuali di Riau.
Adalah Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Riau, Mamud Murod, Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIX, Sofyan, yang terang-terangan mengatakan seperti itu. Kebetulan aturan main soal sanksi administratif itu sudah ada dibilang di Pasal 110B UUCK.
Dewan Pembina DPP Apkasindo, Rusli Ahmad. foto: ist
Waktu didapuk memberi paparan di acara yang dipandu Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino itu, Murod merinci bahwa sampai tahun 2020, berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor 903 tahun 2016 tentang kawasan hutan Riau, bahwa dari sekitar 8,9 juta hektar luas daratan yang ada, 5,38 juta hektar atau setara dengan 59,95% di antaranya adalah kawasan hutan. Hanya saja, 1,89 juta hektar diantaranya justru tertanami kelapa sawit.
“Solusi sawit dalam kawasan hutan ini sudah rinci diatur dalam turunan UUCK, sanksinya juga Ultimum Remedium,” katanya.
Sofyan sendiri lebih merinci lagi bahwa penyelesaian persoalan sawit dalam kawasan hutan itu ada di pasal 110A --- untuk yang sudah dilengkapi perizinan --- dan Pasal 110B bagi yang belum punya perizinan.
“Teknis penyelesaiannya ada di PP 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan,” terangnya.
Intinya kata Sofyan, kalau kebun sawit yang ada di dalam klaim kawasan hutan produksi, baik itu di HPT, HP maupun HPK sudah punya izin; Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan (IUP), atau Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), sesuai Pasal 110A, pekebun dikasi waktu tiga tahun sejak UUCK terbit untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Kalau persyaratan sudah terpenuhi dan lolos verifikasi, maka pekebun akan dapat persetujuan pelepasan kawasan hutan. Tapi kalau di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi, pekebun cuma bisa melanjutkan usahanya itu selama 15 tahun.
Lantas, bagi pekebun yang sudah menjalankan usahanya sebelum tahun 2018, pola penyelesaiannya tetap memakai pasal 110A. Soalnya aturan teknis STDB baru ada pada 2018.
“Kalau kebun sawitnya ada setelah tahun 2018 dan sebelum November 2020, maka pekebun wajib membayar denda administrative dan kemudian diberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan selama 25 tahun sejak masa tanam,” terang Sofyan.
Anggota Dewan Pakar DPP Apkasindo, Samuel Hutasoit. foto: ist
Satu lagi yang juga sangat penting adalah soal tumpang tindih kebun sawit dengan izin perusahaan. Kalau izin lebih dulu dari pekebun, maka perusahaan akan merangkul pekebun untuk menjadi mitra. Namun jika sebaliknya, maka luas izin perusahaan dikurangi.
“Bagi masyarakat yang bertempat tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dan mengelola kebun sawit paling banyak 5 hektar, mereka dibebaskan dari sanksi administratif,” katanya.
Kabidkum Polda Riau, Kombes Pol Endang Usman yang juga menjadi pembicara mewakili Kapolda Riau, Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi mengatakan bahwa Polda Riau akan segera melakukan sosialisasi ultimum remidium kepada semua jajarannya, hingga ke Polres.
“Biar tercipta satu pemahaman yang selaras dan berdasarkan regulasi yang sudah di undangkan” katanya.
Dzakiyul Fikri, SH., MH, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara yang menjadi pembicara mewakili Kajati Riau, Jaja Subagja, sepakat untuk mengedepankan pendekatan persuasif, non ligitasi dalam penyelesaian persoalan kawasan hutan itu.
Bagi anggota Dewan Pakar DPP Apkasindo, Samuel Hutasoit, semua pernyataan para narasumber itu sangat realistis dan mengayomi, petani sawit sangat mengapresiasi, karena para pekebun yang tidak punya STDB tetap dikasi kesempatan menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan lewat mekanisme Pasal 110A.
“Mudah-mudahan para pekebun yang tak punya STDB paham dan bisa menyelesaikan permasalahan klaim Kawasan hutan tanpa perlu membayar denda administratif seperti yang diatur dalam pasal 110A itu,” katanya.
Samuel kemudian meminta supaya semua petani sawit yang ada di 22 DPW Provinsi perwakilan DPP Apkasindo untuk segera mengambil kesempatan ini. “Ukur dan petakan kebun sawit yang ada di klaim kawasan hutan itu, lalu hubungi tim percepatan paduserasi UUCK DPP Apkasindo,” pintanya.
Terlepas dari itu semua, Rusli Ahmad yang didapuk mewakili Ketua Dewan Pembina DPP Apkasindo, Moeldoko mengingatkan agar semua stakeholder menjalankan UUCK itu sesuai fungsi masing-masing dan memastikan bahwa tidak ada tindak pidana pada kebun sawit dalam klaim kawasan hutan.
"Kita patut bangga bahwa meski Indonesia baru berumur 76 tahun, tapi di bawa pemerintahan Jokowi, sudah bisa menghadirkan Omnibus Law. Sementara Amerika sendiri butuh waktu 200 tahun untuk mewujudkan Omnibus Law nya," ujar Rusli.
Lantaran gawe itu berbicara soal sawit, Rusli juga meminta supaya semua stakeholder menjaga sawit Indonesia. Sebab sawit telah menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. "Ini harus kita syukuri, jangan malah dicukuri," tegasnya.






Komentar Via Facebook :