https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Turun ke TNTN, Komnas HAM Keluarkan Sejumlah Rekomendasi

Turun ke TNTN, Komnas HAM Keluarkan Sejumlah Rekomendasi

Posko Taktis Satgas PKH di TNTN. foto: MC Riau


Jakarta, elaeis.co – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya menyampaikan hasil pemantauan terkait polemik penyitaan lahan warga di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kabupaten Pelalawan, Riau. 

Lahan tersebut diklaim masuk kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dan disita oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas-PKH) pada 10 Juni 2025.

Warga yang terdampak jumlahnya sekitar 30 ribu jiwa dari enam desa dan diminta melakukan relokasi mandiri dengan tenggat waktu hingga 22 Agustus 2025. Situasi ini menuai reaksi keras masyarakat setempat yang menolak dipindahkan.

Wakil Ketua Internal Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, menjelaskan bahwa pihaknya turun langsung melakukan pemantauan pada 6–9 Agustus 2025. Komnas HAM menemukan sejumlah fakta penting di lapangan. 

Sebagian besar lahan sawit di kawasan Tesso Nilo ternyata dulunya adalah bekas izin pemanfaatan hutan yang lama terbengkalai hingga berubah menjadi semak belukar. 

Akses jalan dari Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dibangun sejak awal 2000-an, ditambah praktik hibah tanah oleh ninik mamak, menjadi pintu masuk bagi para pendatang untuk membuka kebun sawit.

Seiring waktu, masyarakat baik lokal maupun pendatang telah hidup puluhan tahun di kawasan itu. Mereka tidak hanya mengandalkan hasil kebun sawit, tetapi juga membangun sekolah, rumah ibadah, pemakaman, dan menjalani kehidupan layaknya sebuah desa pada umumnya.

Namun, di tengah kehidupan warga yang sudah mapan, kehadiran Satgas-PKH memicu ketegangan. Satgas mendirikan posko dengan petugas berseragam dan kendaraan berlogo TNI, lalu memasang papan pengumuman relokasi mandiri tanpa surat resmi. 

Bahkan pernah ada larangan bagi sekolah-sekolah di kawasan tersebut untuk menerima murid baru, meski akhirnya dicabut setelah mendapat protes keras dari masyarakat.

Warga sendiri dengan tegas menolak relokasi. Alasannya sederhana, mereka sudah menetap lebih dari belasan tahun, memiliki kebun sawit yang masih produktif, dan tidak pernah ditawari kompensasi maupun kejelasan mengenai lokasi tujuan jika harus pindah.

Menurut Prabianto, kebijakan relokasi tanpa kejelasan lokasi dan solusi alternatif berpotensi melanggar hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya.

Atas situasi yang terjadi, Komnas HAM akhirnya mengeluarkan sejumlah rekomendasi resmi. Pertama, tenggat relokasi mandiri yang ditetapkan pada 22 Agustus 2025 perlu ditinjau ulang. 

Penundaan dianggap penting agar masyarakat terdampak mendapatkan perlindungan prosedural yang jelas sebelum kebijakan dipaksakan, sekaligus mencegah terjadinya konflik yang lebih luas.

Selain itu, Komnas HAM mendorong pemerintah untuk menyusun kebijakan penertiban kawasan hutan yang benar-benar berbasis kajian komprehensif. Kajian itu harus mengacu pada hasil studi Revitalisasi Ekosistem TNTN tahun 2018 dan juga Konsultasi Nasional Krisis Tenurial Tesso Nilo yang pernah dilakukan pada 2016.

Komnas HAM juga menekankan pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat yang terdampak kebijakan penggusuran paksa. Warga harus dilibatkan dalam konsultasi yang tulus, diberikan pemulihan hukum, serta dijamin mendapatkan alternatif tempat tinggal dan penghidupan yang layak.

Terakhir, lembaga ini mengingatkan agar aparat tidak menggunakan pendekatan militeristik dalam menyelesaikan masalah. 

Simbol dan kekuatan militer sebaiknya dihindari di ranah sipil, sementara pendekatan yang lebih manusiawi dari aparat sipil perlu dikedepankan demi menjaga martabat masyarakat yang tengah menghadapi ketidakpastian hidup.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :