https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Tuntaskan Sawit di Kawasan Hutan, IAW: Hentikan Saling Menyalahkan

Tuntaskan Sawit di Kawasan Hutan, IAW: Hentikan Saling Menyalahkan

Petugas Gakkum KLHK menertibkan perkebunan sawit di kawasan hutan di Sulawesi Tengah. foto: ist.


Jakarta, elaeis.co - Alih fungsi hutan di Indonesia telah berlangsung selama puluhan tahun, bahkan sejak masa penjajahan Belanda. Praktik perusakan hutan terus berlangsung demi kepentingan ekonomi.

Indonesian Audit Watch (IAW) menilai kondisi ini sebagai ancaman serius bagi masa depan lingkungan dan perekonomian nasional. Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menegaskan bahwa pengelolaan kawasan hutan di Indonesia selama ini lebih banyak sarat kepentingan dari pada keberlanjutan.

Akibatnya, kini sebagian besar hutan Indonesia telah berubah menjadi hamparan perkebunan sawit, baik yang legal maupun ilegal. Dan faktanya alih fungsi hutan ini bukan sekadar pelanggaran hukum tapi kegagalan kolektif puluhan tahun.

Eksploitasi hutan Indonesia dimulai sejak masa kolonial Belanda melalui Agrarische Wet 1870 dan Domeinverklaring, yang mengklaim tanah tak bertuan sebagai milik negara. Kebijakan ini dilanjutkan Orde Baru dengan pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) besar-besaran, menyebabkan hilangnya 1,7 juta hektar hutan per tahun (1985–1997).

Reformasi tidak banyak mengubah nasib hutan. UU Kehutanan 1999 gagal menahan laju deforestasi, sementara desentralisasi justru memicu korupsi perizinan.

Di era Jokowi, UU Cipta Kerja semakin melonggarkan aturan, dan Greenpeace mencatat 3,25 juta hektar hutan hilang dalam 7 tahun terakhir.

"Jika terus begini, hutan akan habis, dan sawit sebagai komoditas andalan juga tak punya masa depan," katanya dalam pernyataannya dikutip Ahad (6/4).

Audit terbaru dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkap data bahwa sekitar 3,1 juta hektare perkebunan sawit beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan. Sebanyak 1.210 pelaku usaha melanggar hukum, dengan potensi kerugian negara yang ditaksir mencapai triliunan rupiah.

Dia menekankan perlunya pendekatan yang lebih bijak dan tidak sekadar hitam-putih dalam menyikapi persoalan ini. Ia menilai bahwa kawasan hutan yang telah berubah menjadi kebun sawit tidak serta-merta harus dikriminalisasi. "Sebaliknya, negara juga tak bisa begitu saja melegalkannya tanpa syarat yang jelas dan tegas," tukasnya.

Ia menjelaskan, negara bisa menghadirkan sebuah aturan untuk menata hutan. Misalnya dengan meniru model dari Badan Bank Tanah (Perpres 64/2021) dengan menetapkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL). 
Hak Guna Usaha (HGU) juga bisa diberikan dengan penyesuaian karakter hutan kepada perusahaan yang mau patuh aturan. Dan wajibkan rehabilitasi hutan 30%, audit lingkungan, serta sekaligus berkontribusi karbon.

Menurutnya, dengan cara tersebut negara bisa tahu siapa mengelola hutan dan bisa masuk dalam neraca aset negara. Negara mendapat pajak lingkungan dan reforestasi dengan potensi Rp 2–4 triliun/tahun. Ada carbon trading aktif berpotensi US$ 80 juta per tahun. Lalu hutan tidak lagi liar dan tak bertuan, tapi menjadi tercatat, dikelola, dan bisa diaudit.

"Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret dalam penertiban kebun sawit ilegal, audit spasial menyeluruh, legalisasi terbatas bagi pelaku usaha yang patuh, optimalisasi pungutan negara, penegakan hukum pidana hingga menghadirkan kebijakan nasional penataan ulang kawasan hutan," paparnya.

Dia menilai pemerintah memiliki peluang besar untuk menjalankan reformasi tersebut melalui pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Lewat satgas, pemerintah bisa menjalankan rekomendasi terkait, menghindari pelanggaran hukum dalam penertiban hingga menciptakan win-win solution di mana negara dapat pendapatan, lingkungan dipulihkan, bisnis tetap berjalan, dan rakyat dapat kepastian hukum.

"Kita harus hentikan lingkaran dosa alih fungsi hutan. Tidak perlu lagi saling menyalahkan, tapi mulai dengan akal sehat," pungkasnya.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :