Berita / Pojok /
Tulis Setulusnya, Oh, Armando!
Agung Marsudi. foto: dok. pribadi
SAHABAT saya di Dumai, provinsi Riau minta catatan tentang peristiwa Ade Armando (AA) yang dipelasah massa, ketika demo mahasiswa, Senin (11/4/2022) ditambah sedikit lagi. Biar ada greget.
Tentu saya mengerutkan dahi, sebab petuah orang tua, "Ajining diri ana ing lathi, ajining sarira ana ing busana" itu menjadi falsafah jati diri yang universal. Selaksa, "your attitude determines your altitude".
Falsafah ajining diri ana ing lathi berarti harga diri seseorang bisa dilihat dari bagaimana orang tersebut berbicara. Ada unggah-ungguh bermedsos. Seringkali orang mendapat malapetaka karena tidak bisa menjaga bicaranya. "Ngomong nganggo waton, ojo waton ngomong".
Ajining sarira ana ing busana, berarti Penampilan adalah cerminan. Bahwasanya penampilan kita juga mencerminkan harga diri kita.
Baca juga: Ajining Diri Ana Ing Lathi, Ajining Sarira Ana Ing Busana
Sejatinya, siapa yang menelanjangi diri kita? Peristiwa AA silakan dijawab apa adanya. Ia refleksi diri, karma antara, maya dan nyata.
Demokrasi boleh jadi menjadi pilihan terbaik saat ini, tapi ia juga memiliki ruang gelap, yang tak bisa diprediksi. Demokrasi berada di antara, bangsa dan negara atau menjelma dalam negara bangsa.
Kasus AA yang babak belur dipelasah massa, menjadi penanda, rawannya demokrasi prosedural yang kualitasnya masih ditentukan bukan hanya oleh ketokohan, kepercayaan tapi juga kekuatan.
Sopan santun memperkuat kepercayaan, kekuatan mempertegas ketokohan. Kami, kita, mereka adalah baju demokrasi yang masih menyelimuti tubuh politik kita hari ini. Kualitasnya hendak dikuantitatifkan dengan angka, jumlah massa.
AA di 11 April 2022 berada di ruang gelap politik Indonesia. Ia seperti figuran yang datang di panggung mahasiswa, tapi jadi berita. Koalisi oligarki, tak mungkin melahirkan oposisi. Berbeda di dunia maya, rupanya juga hanya pura-pura. Sesungguhnya wajah politik kita, adalah badut.
Badut, di bang jo, yang minta belas kasihan rakyat biasa. Lebah berdengung, biasanya di puncak-puncak gunung, gung liwang liwung. Bukan di ruang terbuka, di ruang maya. Siapa menabur angin, menuai badai.
Tinggal ditanya kehendak bersama, apakah seorang bernama AA mesti dicatat, menjadi bagian dari jalannya suksesi dan sejarah demokrasi terkini. Sebagai kerikil-kerikil tajam, atau batu sandungan.
Urusan kriminal, ada hukum dan pasal. Nikmatnya berdengung, bersenandung, tapi tersandung.
Jakarta, 11 April 2022
Agung Marsudi
Direktur Duri Institute. Pemerhati masalah-masalah urban, lingkungan dan sosial politik. Lahir di Solo, 03 Maret 1970. Lebih dari dua dasawarsa, penggemar olahraga panjat tebing ini, juga terlibat dalam kegiatan pemetaan potensi dan analisis data sosial, ekonomi dan politik.
Keseriusannya di bidang geospasial, telah mengantarkannya mengelilingi Indonesia dengan mosaik dan keragamannya.
Founder lembaga kajian Duri Institute yang berkhitmad pada persoalan kebangsaan, migas dan kearifan lokal ini juga aktif di berbagai kegiatan antikorupsi serta menjadi narasumber di berbagai diskusi, seminar, workshop tentang kedaulatan Migas Indonesia.
Menjadi pembicara dalam Kajian Akademis Tata Kelola Migas di Indonesia: Keuangan Negara dan Daerah serta Petroleum Fund, Universitas Indonesia dan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta, terkait Perang Asimetris & Skema Penjajahan Gaya Baru.
Menulis dua buah buku terkait anatomi dan sepak terjang Chevron di Blok Rokan; Duri Tanah Air Baru Amerika (2010) dan Chevronomics (2016).







Komentar Via Facebook :