https://www.elaeis.co

Berita / Sumatera /

Terungkap! Ribuan Istri Pemanen Jadi ‘Buruh Ilegal’ di Kebun Sawit Besar, Contohnya di PT Lonsum

Terungkap! Ribuan Istri Pemanen Jadi ‘Buruh Ilegal’ di Kebun Sawit Besar, Contohnya di PT Lonsum


Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat.

Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh.

Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar. 

Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi.

Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri.

Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli.

Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan.

Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya.

Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum.

Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela.

Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya.

Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :