Berita / Nasional /
Terkait CSR Perusahaan Kelapa Sawit, Ini Tanggapan Aspek-PIR
Ilustrasi/Reuters
Jakarta, elaeis.co - Setakat ini pemerintah tengah getol mengingatkan perusahaan akan realisasi Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan kelapa sawit. Perihal ini juga menjadi sorotan sejumlah pihak yang menilai realisasi CSR itu masih minim dilakukan. Bahkan malah cenderung tidak tepat sasaran.
Menurut Ketua Umum DPP Aspek-PIR Indonesia, Setiyono, CSR perusahaan kelapa sawit bertujuan untuk membuktikan komitmen dan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berdiri. Tentu yang paling tepat sasaran diserahkan kepada para petani kelapa sawit.
"Memang ada CSR yang diserahkan kepada masyarakat umum. Ini juga tidak dapat disalahkan jika alasannya untuk meredam dampak sosial agar tidak terjadi masalah," ceritanya kepada elaeis.co, Rabu (19/10).
Kendati demikian, jika CSR itu tepat sasaran Tetu akan berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani. Malah juga mempererat hubungan kerjasama antara perusahaan dan petani mitra.
Misalnya saja dalam bantuan pengembangan buruh tani, kemudian petani yang juga bertujuan menguatkan kelembagaannya. Atau dalam realisasi pupuk dan sebagainya.
"Harapan kita CSR itu diberikan kepada petani yang memang mitra perusahaan. Sehingga dari petani kembali kepada petani," ujarnya.
Sementara terkait kewajiban perusahaan kelapa sawit tadi, Setiyono juga menjelaskan bahwa perusahaan wajib membangun kebun plasma seluas 20% dari total luas lahan HGUnya.
Kewajiban itu juga merupakan bentuk komitmen perusahaan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat disekitar berdirinya operasi perusahaan. "Memang biasanya perusahaan yang belum melaksanakan ini adalah perusahaan baru. Kalau yang sama kita selama ini tidak ada masalah," terangnya.
Kendati begitu, Setiyono mengimbau agar perusahaan segara membangunkan kebun plasma tersebut. Sebab kewajiban itu sudah jelas ada aturannya. Dimana perusahaan harus memfasilitasi masyarakat dengan membangunkan kebun tersebut.
"Dalam aturan yang kita tahu, lahan itu diluar HGU yang dimiliki perusahaan. Bukan lahan yang masuk HGU," ujarnya.
Setiyono juga mengaku sempat memprotes terkait besaran kewajiban yang hanya 20 persen. Padahal dahulu kewajiban itu sampai 60 persen.
"Artinya ini lebih kecil ketimbang aturan dahulu. Untuk itu kita imbau agar perusahaan yang belum segeralah penuhi kewajiban itu," ujarnya.
Lanjutnya lagi, keberhasilan kerjasama kebun plasma ini juga tergantung dari masyarakat dan perusahaannya. Kadang masyarakat ingin bergerak sendiri dan tak kau diatur-atur, begitu juga dengan perusahaan. Untuk itu ia berharap ada peran pemerintah yang terlibat langsung dalam jalinan kerjasama itu.
"Pemerintah fungsinya sebagai pengawas pengontrol dua belah pihak. Sehingga keuntungan dapat dinikmati keduanya, bukan hanya sepihak," tandasnya.







Komentar Via Facebook :