Berita / Feature /
Tentang Air Mata Zhul di Bumi Ungaran
Mahasiswa Taruna Sawit D1 sedang makan bersama di komplek KP2 SEAT Ungaran Jawa Tengah. Foto: Dok. AKPY
Ungaran, elaeis.co - Langit Bawen di kawasan Ungaran Jawa Tengah itu masih gelap saat elaeis.co tiba di komplek seluas 16,5 hektar itu Jumat pekan lalu.
Di ufuk barat, kerlip lampu kawasan wisata Bandungan di kaki Gunung Ungaran masih terlihat jelas meski azan subuh sudah setengah jam berlalu.
Dari gerbang komplek 'Kawah Condradimuko' mahasiswa Instiper Yogya untuk mengulik ragam tanaman perkebunan itu, samar-samar, dua orang lelaki dan satu perempuan yang masih berbalut mukenah, nampak duduk berhadapan di teras gedung sebelah kanan komplek.
Komplek yang kini disebut Kebun Pendidikan dan Penelitian (KP2) Stiper Edu Agro Tourism (SEAT). Selain untuk tempat pendidikan dan penelitian, lokasi yang dijejali ragam tanaman perkebunan itu, sempat jadi tempat favorit banyak orang. Tapi pandemi datang, komplek yang dibangun sejak tahun 1984 itu sementara tidak dibuka untuk umum.
"Masuk, Mas. Sini..." Lelaki berkemeja hitam menyapa ramah. Namanya Sundoro Sastro Wiratno. "Mau dibuatin kopi jahe kayak gini?" lelaki 73 tahun ini menunjuk gelas kecil yang masih mengebulkan asap.
Lelaki di samping kirinya, Hartono, ikut menawari. Hartono adalah bekas mahasiswa Sundoro yang kini menjadi asesor di sederet perusahaan. Lelaki ini bahkan pernah 24 tahun di perusahaan perkebunan kelapa sawit, Sinar Mas.
"Jahe asem ini juga enak lho? Seger...," perempuan di depan Sundoro menawarkan pilihan lain. Namanya Idum Satia Santi, juga bekas mahasiswa Sundoro yang kini mengajar Agroteknologi di Instiper Yogya.
Sambil menyeruput kopi panas bikinan ibu dua anak itu, kami pun larut pada cerita tentang cikal bakal komplek itu, termasuk awal mula berdirinya Instiper.
Sayang, obrolan itu gantung dan buyar setelah Sri Gunawan datang dari Yogyakarta dengan Fortuner tunggangannya. Lelaki tinggi tegap itu Direktur Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY).
Anak Instiper yang dilahirkan tiga tahun lalu untuk mendidik mahasiswa khusus diploma satu menjadi mandor handal di kebun kelapa sawit.
Hanya beberapa menit mulai ngobrol bareng, 125 orang mahasiswa baru sudah berlarian menuju halaman luas di depan gedung itu.
Halaman yang juga diapit kantin berlantai dua di sebelah barat. Para mahasiswa asal sejumlah provinsi di Sumatera itu berbaris ala protokol kesehatan. Seorang lelaki dari Paskhas TNI Angkatan Udara menjadi komando para 'Taruna Sawit' itu.
Taruna Sawit yang dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) lewat program beasiswa sawit 2020.
Sebetulnya ada 250 orang mahasiswa baru yang akan kuliah di AKPY tahun ini. Hanya saja, lantaran pandemi, mereka dibagi dalam dua rombongan kedatangan.
Yang berbaris di halaman itu adalah rombongan kedua. Rombongan pertama sudah landing sebulan lalu dan sekarang telah berada di kampus Yogyakarta.
"Mereka sudah sepekan mereka di sini. Selain praktek lapangan, mereka juga menjalani pembinaan mental, fisik dan disiplin," cerita Idum saat menemani elaeis.co mengitari komplek itu.
Selain mengajar di Instiper, perempuan ini ternyata juga Wakil Direktur AKPY, dia pula yang menjadi pengasuh para mahasiswa baru tadi selama di komplek itu.
Selama praktek kata Idum, para mahasiswa diajari gimana persiapan lahan, pembibitan, perawatan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), Tanaman Menghasilkan (TM), pemupukan, pengendalian hama penyakit hingga pemanenan Tandan Buah Segar (TBS).
"Di AKPY ini ada dua program studi; Pembibitan Kelapa Sawit dan Pemeliharaan Kelapa Sawit. Itulah makanya sederet materi tadi diajarkan," ujarnya.
Mestinya kata Idum, para mahasiswa tadi langsung ke kampus Yogyakarta. Tapi selama pandemi, praktek didahulukan, hitung-hitung sekalian mengkarantina para mahasiswa tadi usai berdatangan dari berbagai pelosok di Indonesia.
Adalah Zhulhijrah Rani Wita. Perempuan 18 tahun asal di Desa Prabumuli Dua, Kecamatan Muara Lakitan, Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), ini tak pernah menyangka bakal bisa menjadi bagian dari mahasiswa yang 125 orang tadi.
Sebab meski punya sederet prestasi tingkat provinsi maupun nasional, bungsu dari tujuh bersaudara ini harus mengubur dalam-dalam keinginan untuk kuliah lantaran keadaan ekonomi orang tua.
Ayahnya Abu Hanifah 66 tahun hanya bisa mengandalkan kebun kelapa sawit 1,2 hektar di pekarangan rumah untuk menyambung hidup dan membiaya perobatan istrinya Rukmini 56 tahun yang sejak lama diserang reumatik akut.
Gara-gara keadaan itu pula, meski bungsu, mantan anggota Paskibrakan Provinsi Sumsel ini musti pandai cari duit. Jualan kue dan sayuran dia jabani.
Untunglah waktu masih jadi siswa di SMK Pertanian Pembangunan Sembawa Banyuasin, Zhul sempat ikut pelatihan sawit di Palembang.
Di pelatihan itu, dia dapat kenalan baru dan belakangan dapat info pula soal beasiswa sawit.
"Sebenarnya saya lulus bibit unggul di Universitas Sriwijaya dan di Malang. Tapi lantaran enggak ada biaya untuk itu, enggak saya ambil," cerita Zhul saat berbincang dengan elaeis.co di kantin lantai dua tadi. Dia ditemani Riko Rikaldo, mahasiswa asal Jambi.
Kondisi emaknya yang sakit-sakitan dan keinginannya untuk segera bisa memberi hasil jerih payahnya kepada orang tua, juga menjadi pertimbangan dia untuk tidak mengambil kesempatan di dua tempat tadi.
"Saya ingin membahagiakan emak saya. Secepatnya. Kalau saya musti sarjana dulu, kelamaan. Belum tentu orang tua saya masih hidup," suara perempuan ini mulai terbata-bata.
Singkat cerita, Zhul memilih AKPY dan lulus pula. "Insya allah setelah lulus nanti saya akan pulang kampung. Sebisa mungkin jadi pendamping PSR. Saya ingin ikut membangun daerah dan membantu orang tua saya. Saya ingin membanggakan mereka," genangan air sontak penuh di kelopak mata Zhul.
Riko Rikaldo pun ikut larut dalam kesedihan Zhul. Sebab penderitaan lelaki asal Tanjung Jabung Timur, Jambi ini ternyata sama dengan perempuan itu.
Meski dijejali sederet prestasi hingga ke provinsi, anak ketujuh dari delapan bersaudara ini juga mentok menabur harap untuk kuliah lantaran keadaan orang tuanya.
Ibunya hanya seorang buruh tani yang harus mendayung perahu lebih dari dua jam untuk sampai ke kebun kelapa sawit milik orang lain di Kelurahan Tanjung Solok.
Tak mau menengok emaknya susah sendirian, lelaki yang ditinggal mati ayahnya sewaktu masih kelas enam SD ini, memilih ikut membantu emaknya.
"Kadang kami harus bermalam di sungai kalau tiba-tiba air surut. Kebetulan di tempat kami itu sungainya dipengaruhi pasang surut. Kalau air pasang jam tiga subuh, ya jam tiga subuh lah kami berangkat ke ladang orang," cerita lelaki yang jago pidato ini. Air matanya mulai meleleh.
Ingat emaknya yang kini hanya ditemani adik bungsunya, Riko ingin segera pulang kampung. "Saya ingin mengabdi di kampung. Ilmu yang saya dapat di sini akan saya manfaatkan di sana. Sekalianlah membantu emak," katanya.
Empat tahun mengurusi mahasiswa AKPY membuat Idum familiar dengan kisah-kisah seperti yang dirasakan Zhul maupun Riko.
"Kebanyakan mereka sangat tahu diri. Tak sedikit di antara mereka menyisihkan duit sakunya untuk dikirim ke orang tuanya di kampung," cerita Idum.
Tak terasa matahari di langit Bawen mulai meninggi. Gunung Ungaran yang tak jauh dari kantin tempat Zhul dan Riko bercerita tadi nampak kian kokoh, sekokoh harapan dua remaja tanggung itu untuk bisa segera membahagiakan orang tuanya.
"Mudah-mudahan beasiswa BPDPKS ini terus ada dan bisa menjaring anak-anak seperti kami. Banyak anak-anak berprestasi seperti kami di desa-desa yang tak punya kesempatan untuk kuliah lantaran terbentur biaya. Alhamdulillah dengan adanya beasiswa BPDPKS ini, kami bisa membangun harapan kembali" suara Zhul terdengar lirih.

Komentar Via Facebook :