https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Teknologi Harus Dimanfaatkan untuk Pengembangan Industri Sawit Tanpa Perluasan Lahan

Teknologi Harus Dimanfaatkan untuk Pengembangan Industri Sawit Tanpa Perluasan Lahan

Peningkatan produksi sawit di Indonesia masih mengandalkan perluasan lahan. foto: ist.


Jakarta, elaeis.co - Dalam rangka mengembangkan riset dan inovasi industri perkebunan kelapa sawit, Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan (PRHP) Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyelenggarakan HortiES Talk #10 dengan tema 'Penyusunan Rencana Riset dan Inovasi Mendukung Pengembangan Industri Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia'.

Kepala ORPP BRIN, Puji Lestari mengatakan, kontribusi ekspor produk kelapa sawit Indonesia mencapai 13,5% terhadap total ekspor nonmigas dan menyumbang 3,5% terhadap total PDB Indonesia. Dari seluruh nilai ekspor pertanian Indonesia, 98,86% berasal dari komoditas perkebunan di mana produk kelapa sawit memiliki kontribusi 73,83% dari total ekspor komoditas perkebunan. Industri ini juga telah menyediakan lapangan pekerjaan sebesar 16 juta tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak langsung.

"Indonesia memiliki 16,38 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit yang penyebarannya dominan di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dengan produksi CPO lebih dari 40 juta ton per tahun, menjadikan Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia," paparnya dalam keterangan resmi Humas BRIN, kemarin.

Sayangnya, katanya, terbukti dari fakta ilmiah bahwa peningkatan produksi CPO lebih disebabkan karena peningkatan luas panen, bukan karena perbaikan produktivitas.

"Namun kita tetap menjadikan sawit sebagai komoditas utama meskipun menghadapi tantangan khususnya dari Eropa. Menjadi tugas kita semua untuk membantu komoditas ini tetap menjadi strategis dan utama. Penggunaan mekanisasi, otomatisasi, dan digitalisasi, harapannya dapat mendongkrak produktif tetap tinggi," tukasnya.

Tantangan lain sektor sawit belakangan ini adalah ancaman El Nino. "Harus dicari solusinya karena El Nino dapat mengancam industri sawit, baik langsung atau tidak langsung. Kekeringan, kekurangan ketersediaan air, dan penurunan produktivitas, menjadi kendala yang harus diselesaikan," tandasnya.

Fahmuddin Agus, Peneliti Ahli Utama BRIN yang menjadi narasumber pada kegiatan itu menjelaskan, minyak sawit adalah produk serba guna yang bisa diolah menjadi cooking oil, makanan, kosmetik dan biofuel. 

"Lebih dari separuh populasi dunia menggunakan minyak sawit. Produktivitas minyak sawit di Indonesia sekitar 3 ton per tahun, 4 kali jika dibandingkan dengan minyak matahari, apalagi kalau dibandingkan dengan minyak lainnya. Kelapa sawit mulai berproduksi umur 3 tahun sampai umur 25 tahun, dapat dipanen 15 hari sekali pada tingkat petani kecil dan sekitar 10 hari sekali untuk pertanian besar," tuturnya.

Namun peningkatan produksi minyak sawit untuk memenuhi permintaan pasar selama ini didominasi oleh perluasan areal, beberapa di antaranya dengan mengorbankan lahan karbon tinggi dan keanekaragaman hayati tinggi. "Karena itu, kesenjangan hasil panen harus ditutup salah satunya melalui intensifikasi berkelanjutan. Ini tidak hanya akan meningkatkan profitabilitas, tetapi juga akan mengurangi ancaman terhadap lingkungan. Pengurangan emisi semakin penting karena dibutuhkan oleh pasar internasional," paparnya.

Hanif Fakhrurroja, Peneliti Ahli Madya dari PR Mekatronika Cerdas BRIN yang menyajikan materi "Utilisasi Teknologi Digital dan Robotika untuk Pengembangan Smart Farming pada Perkebunan Kelapa Sawit" memaparkan, sebagai negara agraria, Indonesia berada pada peringkat ke 65 di dunia dengan nilai 59,5 di bawah Thailand dan Vietnam. 

"Berdasarkan penelitian, ada beberapa problematika pertanian di Indonesia. Yaitu budaya, petani berusia tua, lahan terbatas, orientasi produksi bukan pasar, tidak ada sistem data real time, benih bermutu terbatas, infrastruktur pendukung lemah, dan minim teknologi. Sehingga dampaknya mengandalkan rutinitas seperti biasa, ini yang terjadi di pertanian tradisional. Lain halnya di pertanian industri atau di perkebunan yang cukup besar," terangnya.

Solusi untuk masalah tersebut yakni dengan mengembangkan teknologi produktif, melakukan manajemen modern, orientasi pasar lokal dan global, SDM yang kompeten, memaksimalkan peran internet of thing untuk menciptakan Smart Farming.

Hanif juga membeberkan tipikal komponen platform penginderaan jauh berbasis UAV untuk pertanian kelapa sawit yang presisi yaitu dengan drone berbasis remote sensing. Di lini pertama ada sensor, kamera, beberapa platform dan software aplikasi. Ini bisa digunakan untuk demonstrasi konseptual platform penginderaan jauh UAV untuk penilaian kesehatan kelapa sawit dengan kamera NDVI untuk melihat kecukupan nutrisi lahan kelapa sawit. 

"Penggunaan pencitraan hiperspektral berbasis UAV otonom bisa deteksi penyakit Ganoderma boninense di kelapa sawit. Sedang pendekatan kamera termal dan penglihatan malam dan gambar RGB beresolusi tinggi berbasis UAV bisa untuk pemantauan hamadi perkebunan kelapa sawit," sebutnya.
 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :