https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

TBS Punya Petani, Tapi Pengusaha Yang Menikmati

TBS Punya Petani, Tapi Pengusaha Yang Menikmati

Sahat Sinaga (Dok.)


Medan, Elaeis.co - Harga tandan buah segar (TBS) yang ditetapkan oleh tim perumus harga yang ditunjuk pemerintah sejatinya menunjukan bahwa petani sawit sesungguhnya tidak punya posisi tawar sama sekali. Apalagi menghadapi harga ril di lapangan, terpaksa menerima berapa pun harga yang ditetapkan pembeli TBS.


Saat petani pasrah dan tak bisa berbuat apa-apa, pengusaha sawit justru menang banyak.


“The winners takes all, yang menang ambil semuanya. Itu kira-kira yang terjadi selama ini antara pengusaha dan petani sawit,” kata Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, kepada Elaeis.co, Selasa (29/6).


Pernyataan itu bukan tanpa dasar. TBS yang dijual petani, katanya, baik di tingkat pengepul, ram, atau pabrik kelapa sawit (PKS), hanya dihargai sesuai beratnya. “Apakah cangkang dan tandannya sudah dimasukkan dalam komponen harga TBS? Tidak, kan? Petani sudah dibohongi dalam penetapan harga TBS selama ini,” tandasnya.


Pria asal Pulau Samosir itu mengungkapkan, cangkang dan tandan kosong (tankos) sawit memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Bahkan Jepang dan sejumlah negara lain sangat membutuhkan kedua biomassa sawit itu untuk ketahanan energi terbarukan nasional masing-masing.


“Tapi cangkang dan tankos itu tak dimasukan dalam harga TBS petani,” katanya.


Yang juga tidak dihitung oleh pihak PKS dari TBS petani adalah potensi palm oil mill effluent (POME) atau limbah cair. Istilah lainnya minyak kotor atawa miko yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan katalis dan biodiesel.


Sejumlah alasan dilontarkan pihak PKS untuk menekan harga. Misalnya tankos yang disebut mubazir, atau kandungan asam lemak bebas (ALB) yang tinggi sehingga PKS harus mengeluarkan biaya ekstra mengolah TBS petani. 


“Dan sejuta alasan lainnya yang membuat petani sawit banyak kehilangan harta dalam TBS mereka dari pola harga TBS yang berlaku sekarang ini. Semua yang ada di dalam TBS petani adalah harta petani sawit, namun tak dihargai karena posisi tawar mereka sangat lemah,” jelasnya.

“Saya sudah sering mendengar dan melihat bagaimana para petani sawit selalu dibola-bola. Petani benar-benar dalam posisi tidak berdaya,” tukasnya.


Sahat, yang juga aktif di Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), mengaku terus mencari cara agar posisi petani sawit menjadi lebih kuat tanpa harus berkonflik dengan pengusaha sawit. Salah satu caranya adalah berupaya memaksimalkan hilirisasi produk sawit agar semakin diterima pasar.


Salah satu pihak yang diajak untuk memaksimalkan hilirisasi produk sawit adalah para sarjana lulusan teknik kimia dari berbagai universitas di Indonesia, termasuk dari kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) tempat Sahat meraih titel insinyur di tahun 1960-an.


“Tetapi yang terpenting adalah muncul kesadaran dan perubahan paradigma dalam diri petani sawit, termasuk mengubah konsep bertani secara individual menjadi berkelompok. Baik melalui koperasi ataupun membentuk korporatisme kecil yang semuanya beranggotakan petani. Yang penting buat kelompok yang transparan dan saling terbuka satu sama lain agar posisi petani kuat dan sejajar ketika berhadapan dengan pengusaha,” pungkasnya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :