Berita / Nusantara /
Tata Kelola Sawit Bocor di Banyak Titik, Transparansi Jadi Kunci Pembenahan
Jakarta, elaeis.co – Serangkaian temuan baru soal penggelapan ekspor crude palm oil (CPO) kembali membuka persoalan klasik dalam industri sawit Indonesia yaitu tata kelola yang lemah dan celah yang terlalu mudah dimainkan.
Temuan Bea Cukai terbaru menjadi penanda bahwa masalah ini belum benar-benar terselesaikan dan justru menunjukkan kebocoran yang semakin melebar.
Giorgio Budi Indarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, menegaskan bahwa akar dari berbagai kasus korupsi sawit selalu kembali pada satu hal yakni tata kelola.
Ia menyebut praktik penggelapan ekspor CPO hanyalah satu dari banyak gejala yang memperlihatkan betapa rentannya sistem yang seharusnya mengatur salah satu komoditas andalan Indonesia tersebut.
“Kasus penggelapan ekspor yang baru ditemukan Bea Cukai hanya menambah daftar panjang bukti bahwa tata kelola sawit kita masih bermasalah,” ujar Giorgio, yang akrab disapa Jojo, kemarin.
Jojo menggambarkan kondisi tata kelola sawit saat ini seperti sebuah kapal yang bocor di banyak titik. Jika dibiarkan, kebocoran itu bukan hanya menghambat laju industri, tetapi mengancam keseluruhan fondasi yang menopang keberlanjutan sawit nasional.
“Andaikata sebuah kapal, bocornya sudah hampir di seluruh badan kapal. Ketika didiamkan, maka risikonya industri sawit kita akan lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya,” ucapnya.
Menurut dia, kunci utama untuk membenahi tata kelola adalah transparansi. Indonesia, kata Jojo, sebenarnya sudah punya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang seharusnya menjadi instrumen penting untuk memastikan keterbukaan data dan proses dalam industri sawit. Namun implementasinya dinilai masih jauh dari memadai.
“UU KIP sering tidak bertaji jika berhadapan dengan kepentingan industri sawit. Padahal undang-undang itu masih berlaku dan harusnya bisa jadi dasar memperkuat transparansi,” katanya.
Jojo mengingatkan bahwa tanpa transparansi, upaya memperbaiki tata kelola hanya akan berhenti sebagai wacana.
Ia menyebut keterbukaan sebagai syarat minimum untuk memastikan pengawasan publik berjalan, memastikan alur produksi jelas, serta menutup ruang bagi manipulasi data dan penyalahgunaan izin.
“Kalau transparansi tidak jalan, jangan bermimpi memperbaiki tata kelola industri sawit,” tegasnya.
Ia menambahkan, praktik korupsi dan penggelapan bisa tumbuh subur di lingkungan yang tertutup dan minim akses informasi. Menggunakan perumpamaan sederhana, Jojo menyebut bahwa lingkungan gelap selalu menjadi ruang yang nyaman bagi tindakan yang merugikan.
“Tikus itu senang tempat yang gelap, tertutup, dan lembab. Transparansi bisa jadi awal,” ujarnya.
Menurut Madani, momentum temuan Bea Cukai seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk memperketat pengawasan, memperbaiki mekanisme pelaporan, dan memastikan seluruh proses industri sawit, mulai dari kebun, pabrik, hingga ekspor bisa dipantau secara terbuka.






Komentar Via Facebook :