Berita / Nasional /
Tarif Pungutan Sawit Naik Jadi 10 Persen, Kemendag Klaim untuk Dorong Hilirisasi Nasional
Kementrian Perdagangan RI.(Ist)
Jakarta, elaeis.co - Tarif pungutan ekspor sawit resmi naik jadi 10 persen. Kemendag menegaskan kebijakan ini bukan sekadar beban, tapi strategi mendorong hilirisasi agar industri sawit RI makin berdaya saing.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan bahwa pungutan ekspor (PE) minyak sawit tetap diberlakukan, bahkan dinaikkan menjadi 10 persen, sebagai bagian dari strategi mendorong hilirisasi industri kelapa sawit nasional.
Kebijakan terbaru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025 yang mulai berlaku sejak 17 Mei 2025. Dalam aturan tersebut, pungutan ekspor crude palm oil (CPO) resmi naik dari sebelumnya 7,5 persen menjadi 10 persen, dengan tarif layanan dikelola oleh Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag, Wijayanto, menegaskan bahwa bea keluar (BK) dan pungutan ekspor memiliki fungsi strategis dalam memperkuat struktur industri sawit Indonesia.
“Bea keluar bertujuan mendorong eksportir mengalihkan pasokan dari produk mentah ke produk bernilai tambah tinggi. Sedangkan pungutan ekspor digunakan untuk mengumpulkan dana yang kemudian dikembalikan ke sektor sawit, seperti pembangunan kapasitas, promosi, hingga advokasi,” kata Wijayanto dalam webinar Palm Oil as a Strategic Corridor: Strengthening Indonesia-India Economic and Trade Cooperation, Senin (22/9/2025).
Menurutnya, penerapan BK maupun pungutan ekspor selama ini masih cukup efektif, baik dalam memperkuat hilirisasi maupun mengembangkan sektor perkebunan sawit secara berkelanjutan.
Wijayanto menekankan bahwa kebijakan pungutan ekspor merupakan bagian dari arah besar strategi nasional. Sawit dipandang sebagai komoditas strategis penghasil devisa nonmigas, sekaligus instrumen penting dalam menjaga ketahanan pangan, energi, dan keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, pemerintah mewajibkan pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri sebagai syarat ekspor CPO, RBD palm oil, dan RBD palm olein, sebagaimana diatur dalam Permendag Nomor 26 Tahun 2024.
Kebijakan ini juga sejalan dengan program energi hijau melalui pemanfaatan biofuel B40, sesuai dengan Kepmen ESDM Nomor 341 Tahun 2024.
Berdasarkan data Kemendag, ekspor sawit Indonesia ke India tumbuh rata-rata 5,06 persen per tahun dalam periode 2020–2024, meskipun tren impor global justru menurun sebesar 2,15 persen.
Pada 2024, India tercatat sebagai importir terbesar minyak sawit dunia dengan volume 8,62 juta ton atau sekitar 20 persen dari total impor global. Dari jumlah itu, hampir 50 persen kebutuhan India disuplai oleh Indonesia.
“Ke depan, kami akan memperkuat keberterimaan sawit Indonesia melalui sertifikasi ISPO, mutual recognition agreement dengan India, serta peningkatan produktivitas. Pemerintah juga aktif menggelar promosi perdagangan seperti Trade Expo Indonesia, misi dagang, INAexport, hingga pendirian export center di berbagai daerah,” jelas Wijayanto.







Komentar Via Facebook :