https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Tarif Impor 32% AS Ancam Pasar Sawit RI, GAPKI Sodorkan Opsi ini ke Pemerintah

Tarif Impor 32% AS Ancam Pasar Sawit RI, GAPKI Sodorkan Opsi ini ke Pemerintah

Eddy Martono. foto: ist.


Jakarta, elaeis.co – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) buka suara terkait dampak kebijakan tarif resiprokal sebesar 32% yang dikenakan Amerika Serikat (AS) terhadap produk minyak sawit (CPO) Indonesia.

Ketua Umum GAPKI Eddy Martono menegaskan bahwa kebijakan tersebut bisa menekan volume ekspor sawit RI secara signifikan ke AS dan merugikan kedua belah pihak.

GAPKI mendesak pemerintah untuk mengupayakan perlakuan khusus bagi produk sawit Indonesia. Sejumlah opsi telah diajukan ke pemerintah, seperti relaksasi bea keluar, pelonggaran domestic market obligation (DMO), serta penyesuaian pungutan ekspor, demi menjaga daya saing produk sawit RI di pasar global, khususnya AS.

Pasar AS memiliki arti strategis bagi Indonesia. Menurut data GAPKI, pangsa pasar CPO RI di AS mencapai 89% dengan volume ekspor tertinggi sebesar 2,5 juta ton pada 2023, meski sedikit turun menjadi 2,2 juta ton pada 2024.

“Kalau tarif impor AS tetap di angka 32%, bukan tidak mungkin ekspor CPO kita ke AS bakal terus menurun,” ucap Eddy, kemarin.

Ia menjelaskan bahwa tarif tinggi bisa membuat importir AS beralih ke negara pesaing yang menawarkan tarif lebih rendah, seperti Malaysia dan beberapa negara Amerika Latin. “Mereka [importir] tentu akan mencari pasokan dari negara lain yang tarifnya lebih kompetitif,” jelasnya.

Meski begitu, Eddy tidak serta-merta memprediksi tren ekspor CPO akan terus turun. Ia menekankan bahwa permintaan terhadap minyak nabati global sangat bergantung pada pasokan dan harga komoditas sejenis seperti minyak kedelai dan minyak bunga matahari.

“Kalau supply mereka kurang, maka permintaan terhadap minyak sawit bisa naik lagi,” imbuhnya.

Namun, Eddy mengingatkan bahwa harga minyak sawit Indonesia harus tetap kompetitif. Jika harga CPO RI lebih mahal dari minyak nabati lain seperti yang terjadi pada 2024 hingga awal 2025, maka kinerja ekspor akan ikut tergerus.

“Ini harus jadi perhatian agar ekspor sawit tidak kalah bersaing,” tegasnya.

Sebagai langkah antisipatif, GAPKI mendorong diversifikasi pasar ekspor, terutama ke negara-negara nontradisional seperti Afrika, Timur Tengah, Rusia, dan Asia Tengah. Selain itu, menjaga kestabilan di pasar utama seperti China, India, Pakistan, dan Uni Eropa juga dinilai krusial.

Dengan dinamika global yang terus berubah, GAPKI berharap pemerintah segera mengamankan kepastian tarif dan memperkuat posisi tawar Indonesia di pasar internasional. “Kita harus sigap, karena ekspor sawit bukan hanya urusan ekonomi, tapi juga keberlanjutan jutaan petani dan industri dalam negeri,” pungkasnya.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :