Berita / Nusantara /
Target PSR Sulit Tercapai Jika Syaratnya tak Berubah
Kelapa sawit yang sudah tua ditumbangkan dan diremajakan lewat program PSR. Foto: Rio/Rakyat Bengkulu
Pekanbaru, Elaeis.co - Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) jadi PR besar bagi Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian. Pasalnya tahun 2021 menjadi tahun kelam dengan capaian PSR paling rendah.
Kendala terbesar PSR adalah kebun sawit rakyat yang diklaim berada dalam kawasan hutan. Alhasil, meski petani mau ikut PSR, usulan yang diajukan ditolak karena syarat utamanya adalah lokasi kebun tidak berada di dalam kawasan hutan.
Menurut data Ditjenbun, ada sekitar 2,78 juta hektare kebun sawit rakyat yang sudah waktunya diremajakan. Tahun ini, 180.000 hektare diantaranya ditargetkan di-replanting.
Akademisi dari Universitas Islam Indragiri, Dr Mulono, skeptis target PSR bisa tercapai jika regulasi yang berlaku tidak segera diubah oleh pemerintah.
"Kabarnya akan ada perubahan sistem. Kalau betul, mudah-mudahan perubahan itu akan membuat jadi lebih mudah, dalam konteks untuk menjaring petani yang ikut PSR. Tapi tetap finalnya ada pada kasus kawasan," katanya kepada Elaeis.co, Kamis (13/1).
Dia yakin Dirjenbun sebenarnya sudah memahami kendala di lapangan. "Kita lihat saja bagaimana gerak dari stakeholder. Kalau itu berjalan baik, saya rasa ada peningkatan capaian," tambahnya.
Mulono mengatakan, apabila persoalan kawasan hutan yang menghambat berbagai program pemerintah untuk petani sawit ini tidak segera diselesaikan, maka capaian PSR tahun ini dipastikan masih akan sangat rendah.
"Tetap kuncinya adalah bagaimana mencarikan solusi terhadap kawasan, itu intinya. Kalau kawasan itu masih tetap diutamakan, ya sampai kapanpun tidak akan beres, capaian target itu tidak akan dapat.
Kawasan hutan itu kan sekarang seperti menjadi tuhan dibandingkan aturan lain," imbuhnya.
Ketua DPD APKASINDO Kabupaten Indragiri Hilir itu menilai, persoalan mengenai kawasan hutan muncul akibat tidak adanya keterbukaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurutnya, penunjukan kawasan hutan yang dilakukan, tidak mengikuti proses yang sebenarnya.
"Harus ada keterbukaan di antara stakeholder dan tidak saling mengangkangi aturan yang ada. KLHK juga harus jelas dong. Yang namanya penunjukan itu kan harus melalui proses, selama ini kan tidak jelas prosesnya, tidak ada keterbukaan, tidak transparan," katanya.
Selain itu, menurut Mulono, hal lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan klaim sawit dan kawasan hutan ini adalah dengan mengklasifikasikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan industri.
"Dari pada ribut-ribut sawit dalam kawasan, jadikan saja kelapa sawit sebagai tanaman hutan industri, kan selesai. Karena bagaimanapun, kalau di lihat dari sisi sifat dan kondisi eksistingnya, tanaman sawit hampir sama dengan akasia," ujarnya.
"Malahan umurnya lebih panjang, sampai 25 tahun. Sedangkan akasia cuma 4 sampai 8 tahun. Artinya, tutupannya jauh lebih aman. Sawit ini layak untuk dijadikan tanaman hutan industri, posisinya sama seperti akasia," tambahnya.
Dia mengakui bahwa ada kekurangan dari kelapa sawit, yakni terdapat emisi karbon yang kurang maksimal. Namun menurutnya kondisi ini juga serupa dengan akasia.
"Ada fase-fase di mana emisi karbon atau karbon rasionya sawit itu tidak baik, tapi di akasia pada awal-awal tanam juga sama. Di sawit umur 1 sampai 3 tahun juga kan kecil karbon rasionya karena tanamannya belum besar," pungkasnya.







Komentar Via Facebook :