Berita / Nasional /
Status Kawasan Hutan Malapetaka Bagi Petani Sawit
Ilustrasi - perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Foto: Sahril Ramadana
Jakarta, elaeis.co - Pakar Hukum Kehutanan, DR Sadino mengungkapkan status Kawasan Hutan menjadi malapetaka bagi petani kelapa sawit. Bukan hanya petani namun juga pelaku usaha di perkebunan kelapa sawit.
Oleh sebab itu, menurutnya harus ada langkah penyelesaian yang maksimal dan baik dari pemerintah.
"Prinsipnya, apapun yang oleh pemerintah lakukan sesuai dengan aturan, kita harus memberikan dukungan. Akan tetapi, jika ada yang harus diperbaiki, maka perlu dilakukan perbaikan," ujar pria yang juga pengajar di FH Universitas Al Azhar itu dalam FGD yang dilaksanakan oleh program doktor Ilmu Hukum Universitas Pancasila pada Rabu (7/5) kemarin.
Berita Terkait: Di Indonesia, Ada 3,37 Hektare Sawit Tumbuh di Kawasan Hutan
Sadino mengatakan, ada sebanyak 21.385 desa di Indonesia masuk dalam kawasan hutan, dengan 9,2 juta kepala rumah tangga dan 37,2 juta jiwa tinggal di wilayah tersebut.
Sementara untuk penunjukan penetapan kawasan hutan sering mengabaikan keberadaan desa, masyarakat adat, dan menyebabkan ketidakadilan dalam pengelolaan wilayah.
Selanjutnya terciptanya konflik tenurial. Dimana terjadi tumpang tindih hak antara masyarakat dan klaim negara yang memerlukan perlindungan hukum agar berkeadilan dan berkelanjutan.
Padahal, kata Sadino, terdapat instrumen hukum dalam permasalahan kawasan hutan ini. Yakni UU Nomor 41 Tahun 1999 dimana menjadi dasar hukum utama pengukuhan kawasan hutan di indonesia. Kemudian Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021, Nomor 18 Tahun 2021 dan Nomor 24 Tahun 1997.
Disamping itu ada juga Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021 yang memberikan petunjuk teknis pelaksanaan pengelolaan hutan. Lalu UU Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang agraria yang berkaitan dengan hak-hak atas tanah dan penguasaan wilayah.
"Dasar hukum pengukuhan kawasan hutan itu adalah UU Nomor 41 Tahun 1999. Yakni pada pasal 14 mengatur pengukuhan kawasan hutan untuk memberi kepastian hukum bagi pengelolaan hutan. Lalu pasal 15 menjelaskan proses penunjukan penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan," rincinya.
Dikatakan Sadino, pada pasal 15 ayat 1 UU Nomor 41 1999 itu, penunjukan kawasan hutan harus melalui beberapa tahapan. Seperti pembuatan peta penunjukan batas luar kawasan hutan, pemancangan batas sementara dilengkapi lorong-lorong batas, pembuatan parit batas pada lokasi rawan konflik, dan terakhir adalah pengumuman rencana batas kawasan hutan pada daerah berbatasan dengan tanah hak masyarakat.
Disisi lain, masyarakat memiliki hak yang diatur dalam UU kehutanan pasal 68. Dimana masyarakat berhak atas kualitas lingkungan. Yakni berhak menikmati dan menjaga kualitas lingkungan dan hutan secara berkelanjutan.
Kemudian masyarakat juga berhak dalam pemanfaatan hutan. Yaitu menggunakan sumber daya hutan sesuai aturan yang berlaku dangan asas keberlanjutan dan keterlibatan masyarakat.
Lalu masyarakat juga berhak atas partisipasi dan infomasi yang berhak mendapatkan informasi terkait pembangunan kehutanan dan berhak menyampaikan pendapat dan melakukan pengawasan.
Terakhir adalah kompensasi. Yaitu berhak atas kompensasi jika terjadi kehilangan akses terhadap sumber daya hutan kebijakan pengelolaan.
Hak masyarakat ini dilindungi lewat putusan MK Nomor 45/PUU DU/2011 mengenai kawasan hutan, Putusan MK Nomor 34/PUU DU/2011 menegaskan perlindungan hek atas tanah, putusan MK Nomor 35/PUUX/2012 terkait pengakuan hutan adat bukan sebagai hutan negara, dan putusan MA Nomor 03/HUM/2013 memperkuat perlindungan hak atas tanah masyarakat.
Sementara sertifikat tanah yang dimiliki masyarakat juga merupakan bukti yang kuat. Ini sesuai dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 dimana sertifikat sebagai alat bukti kuat. Bahkan setelah 5 tahun tanpa gugatan, tak bisa dibatalkan sepihak tukas Mutlak.
Untuk penyelesaian konflik kawasan hutan dan hak atas tanah, maka perlu mencermati PP Nomor 43 Tahun 2021. Dimana pada pasal 11 ayat (2) penyelesaian ketidaksesuaian dalam keterlanjuran terhadap hak atas Tanah dan/ atau hak pengelolaan yang telah dikuasai dan dimanfaatkan di dalam Kawasan Hutan sebelum ditunjuknya atau ditetapkannya kawasan tersebut sebagai Kawasan Hutan, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari Kawasan Hutan melalui perubahan batas Kawasan Hutan.
"Hak atas tanah yang sah harus dikeluarkan dari Kawasan Hutan," tegasnya.







Komentar Via Facebook :