Berita / Nusantara /
SPKS: Plasma Tak Mesti Kebun Sawit, tapi Jangan Buka Lahan Baru
Departemen Advokasi SPKS, Marselinus Andry. Foto: ist.
Jakarta, elaeis.co – Terbitnya Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Perkebunan (ditjenbun) Nomor 21 Tahun 2025 memberi kesempatan kepada perusahaan sawit untuk menjalankan kewajiban Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar (FPKMS) dengan membantu kegiatan usaha produktif masyarakat. Misalnya, mengembangkan budidaya padi gogo dan tidak harus membangun kebun sawit plasma.
Banyak kalangan menilai langkah pemerintah mengingatkan kembali perusahaan perkebunan sawit terkait FPKMS atau kebun plasma sangat tepat. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), misalnya, menyebut FPKMS sebagai bagian dari reforma agraria redistribusi tanah untuk petani terutama di perkebunan sawit.
Kendati begitu, Departemen Advokasi SPKS, Marselinus Andry mengingatkan agar pelaksanaan kewajiban FPKMS tidak dilakukan dengan pembukaan lahan baru. Terlebih saat ini Indonesia tengah dihadapkan pada ancaman deforestasi, alih fungsi lahan pangan, maupun masalah ketidaktersediaan lahan.
"Karena merupakan bagian dari redistribusi tanah untuk petani atau masyarakat sekitar, maka sumber lahan berasal dari konsesi yang eksisting atau hak guna usaha (HGU) seluas 20%. Sayangnya, aturan tentang FPKMS di kementerian-kementrian terkait saling tumpang tindih," ujarnya kepada elaeis.co, Ahad (12/1).
Menurutnya, jika pedoman FPKMS sebagai mana yang diarahkan dalam SE ini diterapkan terutama menengahi konflik yang banyak terjadi di lapangan, tentu akan sangat problematik. Selain karena aturannya berubah-ubah, tipologi permasalah juga berbeda-beda.
"Yang perlu diperjelas sebetulnya bahwa norma hukum yang mengatur kewajiban pemegang HGU tidak hanya kemitraan usaha perkebunan, tetapi juga FPKMS. Sehingga penerapannya pun seharusnya berbeda. Termasuk terkait sumber lahan yang dibangun seluas 20% tersebut," terangnya.
"Kami mendukung bahwa alternatif model kemitraan usaha dalam kerangka pembangunan kebun 20% tersebut tidak dibatasi hanya untuk penanaman komoditas sawit, tapi bisa juga komoditi pangan atau bentuk kerja sama lain sesuai kesepakatan bersama petani dan perusahaan sebagaimana hal ini diatur oleh Ditjenbun dalam surat edaran yang diterbitkan. Namun terkait dari mana sumber lahan 20%, seharusnya mengikuti aturan di bidang pertanahan terutama di Kementerian ATR/BPN dan mengacu pada aturan tentang percepatan reforma agraria," pungkasnya.







Komentar Via Facebook :