Berita / Nusantara /
SPKS Desak Pemerintah Berangus Mafia dan Kartel Minyak Goreng
Mansuetus Darto, Sekretaris Jenderal SPKS. Foto: Ist.
Jakarta, elaeis.co - Para petani sawit yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendukung sepenuhnya langkah Kejaksaan Agung mengusut dugaan korupsi dalam pemberian izin ekspor minyak goreng.
Kepada elaeis.co, Mansuetus Darto selaku Sekretaris Jenderal SPKS menyebutkan, para petani memang patut bersyukur atas upaya penegakan hukum tersebut karena petani sebagai pengelola 6,7 juta hektare (ha) kebun sawit turut merasa dirugikan.
"Petani sawit juga ikut merasakan harga minyak goreng yang tinggi. Sungguh ironis karena petani sawit merupakan penghasil buah sawit yang merupakan bahan dasar pembuatan CPO dan minyak goreng," kata Darto, Kamis (21/4).
SPKS menilai para mafia migor telah mencoreng promosi perdagangan minyak sawit dari Indonesia dari aspek keberlanjutan atau sustainability seperti yang selama ini kerap digembar-gemborkan.
"Sebab tiga perusahaan sawit tempat para tersangka bekerja adalah anggota dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah lembaga sertifikasi minyak sawit berkelanjutan level dunia," ucap Darto.
Tiga perusahaan sawit itu adalah PT Wilmar, PT Musim Mas, dan PT Permata Hijau Group.
"Tapi di saat yang sama, kami juga berharap Kejaksaan Agung bisa menelusuri lebih dalam lagi keterlibatan aktor lainnya. Apalagi perihal minyak goreng ini, saling terhubung dari hulu hingga hilir. Tiga perusahaan itu menguasai hulu hingga hilir industri sawit nasional," katanya.
Darto sangat menyayangkan kenapa negara tidak memiliki industri pengolahan minyak goreng. Efeknya, negara sangat tergantung pada industri sawit swasta nasional yang akhirnya terkesan memiliki kekuatan dan dapat menciptakan instabilitas politik, ekonomi dan keamanan.
Darto menilai penguasaan sektor hulu hingga hilir oleh perusahaan sawit swasta merupakan praktek kartel. Ia meminta kartelisasi ini dievaluasi secara menyeluruh oleh pemerintah pada level kebijakan, termasuk program Biodiesel (B30) yang dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan yang hampir sama.
"Karena itu, penanganannya harus komprehensif dan dapat memberikan solusi alternatif agar mereka tidak lagi berbuat suka-suka di kemudian hari," kata Darto.
Selama ini, ia melihat pemerintah cenderung membiarkan perusahaan pengolahan (refinery) memproduksi migor dengan mengacu pada harga internasional. Akibatnya harga migor sangat tinggi dan perusahaan kerap menerapkan harga yang tidak wajar di pasar.
Ia menyebutkan, ketika pemerintah menerapkan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation—DMO), perusahaan Indonesia mestinya mendukung upaya ini sebagai langkah perbaikan tata niaga.
"Sayangnya, kebijakan ini tidak dijalankan secara maksimal. Akibatnya sampai hari ini, kita merasakan harga minyak goreng yang sangat tinggi," sesalnya.







Komentar Via Facebook :