https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

'Sistim Pertahanan' Sawit Indonesia Rapuh?

Tungkot Sipayung. Foto: dok. pribadi


Jakarta, elaeis.co - Sudah sejak lama kelapa sawit Indonesia jadi bulan-bulanan asing, khususnya Eropa dan Amerika beserta oknum-oknum Non Government Organization (NGO) yang menjadi sayapnya. 

Mulai dari merusak hutan, boros air, bikin sakit jantung, kolesterol, hingga melanggar Hak Azazi Manusia (HAM), jadi tudingan. Kesan berpihaknya sejumlah otoritas dalam negeri terhadap isu itu, kian menyudutkan sawit. 

Belakangan, 3-Mono Chloro Propane Diol Ester (3-MCPDE) dan Glycidyl Esters (GE), makin gencar menggerayangi keseksian sawit Indonesia. 

Minyak sawit dituding mengandung kontaminan 3-MCPD Ester dan GE paling tinggi ketimbang minyak nabati lain. 

Meski sudah berpuluh tahun 'serangan' itu datang bertubi-tubi, tapi Indonesia justru tak kunjung berkaca dari peristiwa itu. 

Baca juga: Indonesia, Raja Sawit Yang Masih Bisa Ditipu.

Kenyataan ini tidak ditampik oleh Palm Oil  Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI). Soalnya dari sisi riset saja, PASPI menengok banyak riset-riset yang dilakukan di dalam negeri, tidak meng-address isu-isu strategis yang justru menjadi kampanye negatif di internasional.

"Isu sosial, ekonomi, kesehatan dan ekologi sangat minim, bahkan tidak ada yang dibiayai khusus oleh lembaga yang mengurusi sawit," kata Direktur Eksekutif PASPI, Tungkot Sipayung, kepada elaeis.co, tadi siang.

Sementara dalam melakukan riset, NGO transnasional justru mengucurkan banyak duit untuk menguliti isu sosial, ekonomi, ekologi hingga kesehatan. Mereka bahkan sampai ke level desa-desa yang ada di Indonesia. 

"Tengoklah di berbagai jurnal atau media sosial (medsos), banyak publikasi NGO terkait itu yang enggak kita punya. Akibatnya, kita tidak punya empirical evidence untuk meng-counter apa yang dikampanyekan NGO transnasional itu," kata lelaki 55 tahun ini. 

Dan gara-gara tidak punya empirical evidence terkait isu-isu tadi pula, Indonesia sering kelabakan di forum dunia seperti World Trade Organization (WTO) atau forum dunia lainnya. 

Sebab yang sering dibicarakan di forum semacam itu justru data sosial, ekonomi, kesehatan dan ekologi tadi, bukan data teknologi. 

"Urusan teknologi, itu sudah urusan individu perusahaan, sebab itu sudah jadi bagian strategi bisnis. Tapi urusan bersama itu tadi; aspek sosial, ekonomi, ekologi dan kesehatan," urai Ketua Tim Lintas Kementerian dan Asosiasi Penyusunan Roadmap Industri Sawit Indonesia ini.

Sama seperti empirical evidence empat isu tadi, sampai saat ini, apa, seperti apa dan berapa multiplier effect dari industri hilir sawit seperti biodiesel, oleofood dan lain-lain kata doktor Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, tidak pernah tahu.

"Padahal informasi semacam ini perlu kita pakai untuk basis kebijakan hilirisasi. Di negara lain seperti Eropa, USA, India dan China, studi seperti itu sangat detail sehingga kebijakan mereka sangat terukur dan didasarkan pada emperical evidence," panjang lebar Tungkot mengurai.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :