Berita / Pojok /
Refleksi Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni 2021
Sila Amalkan
LN Firdaus. foto: dok. pribadi
Entah siapa netizen yang membuat dan pertama kali mengunggah video youtube berjudul, "Why Japanese kids are different from the rest of the world?!.
Peragaan perilaku anak-anak Jepun yang berdurasi tiga menit, lima puluh delapan detik itu sungguh menyejukkan hati dan mempesona mata yang menonton.
Video ini saya peroleh dari postingan sahabat di WAG Alumni PPSA XVI/2009 Lemhannas RI. Selepas itu, lepak-lepuk saya teruskan ke WA Group jejaring sosial di serata Nusantara tercinta.
Kolega saya Profesor di USU Medan yang amat piawai mendendangkan Lagu "Madu Tiga" gubahan allahyarham Pe Ram Lee pun sampai menyapa, "Apakah ini yang disebut sebagai sustainable culture based on attitude yang dicontohkan anak Jepun...? Seharusnya kita juga bisa disiplin seperti ini apabila mau karena budaya kita juga saling respek!.
Saya diamkan saja. Biarlah group veteran Wakil Rektor 1 BKS-PTN Wilayah Barat Indonesia itu yang membahas sambil mengamalkan janji setia "Pisah Bukan Bacarai".
Syahdan Guru Besar IPB yang kami anggap "Profesor Belmawa Dikti" jaman Dr Illah Sailah menjadi Dirjen pun sepakat dengan pertanyaan reflektif Profesor dari Medan itu.
"Betuuuull…Bangsa Indonesia mestinya bisa lebih baik…tetapi budaya kerja kerasnya yang lemah..!" tandas mantan Wakil Rektor 1 IPB itu.
Karena dua Begawan Wakil Rektor 1 sudah turun gunung, saya pun jadi tak sedap jika tak menyapa. Kan gegara postingan saya juga (mungkin) mereka terbangun dari pertapaan di gunung mengejar cahaya nirwana. Saya pun mengeluarkan ajian tali pengikat, "Pendidikan karakater Indonesia, sibuk dalam wacana (verbalism, kalor), sementara Jepun lebih menyibukkan diri dengan aksi (Actualism; kinerja)”.
Keyword, "Budaya Kerja" dari Mantan Ketua Forum Wakil Rektor 1 itu lantas mengingatkan saya di tengah subuh buta dengan seorang kolega di Fakultas Teknik Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).
Beliau lagi berjihad di jalan ilmu pengetahuan. Sudah dua tahun tak pulang ke Tanjungpinang menjenguk anak-bini karena COVID 19 jahanam ini. Beliau sedang merampungkan Program Doktor di Kanazawa University, sebuah universitas di pinggiran Tokyo yang telah berusia 150 Tahun.
Dosen yang cerdas dan lihai perkara TIK ketika saya berkhidmat sebagai Wakil Rektor 1 UMRAH (2014-2916) itu menyapa kiriman video pembiasaan karakter anak-anak sekolah Jepun itu dengan bersahaja. "Mereka dididik sejak dari nursery Prof. Ngantri, menghargai orang lain, dan jujur," komen akademisi teguh pendirian asal kepri itu.
"Patutlah Jepun mengusung Grand Design Society 5.0," balas saya.
"Tapi masih banyak masalahnya Prof," tandas beliau. "Anak-anak muda Jepun tak setangguh generasi dulu. Mereka lebih senang foya-foya sekarang. Mindset anak-anak muda Jepang sudah berubah jauh dibandingkan dengan generasi tuanya,”.
"Ooooo…itu maciam ya," gumam saya dalam hati.
Karena adzan subuh dah memekik, chating saya penggal dengan narasi pamungkas, "Kemudahan selalu membuat orang menjadi malas, kesulitan membuat orang jadi rajin,”.
“Betul, Prof!," tandas nya.
BUSHIDO; etos kerja yang berjaya membawa Jepun ke peradaban transformatif yang disegani dunia itu pun bisa lekang karena erosi peradaban kekinian. Apatah lagi Pancasila yang baru berumur 76 tahun yang saban hari menjadi bahan sumpah serapah.
Revitalisasi dan aktualisasi nilai-nilai yang tersemat dalam sila Pancasila ke dalam amalan nyata kehidupan keseharian itu yang mustahak segera dan terus menerus diikhtiarkan sampai akhir ayat. Kalau memang kita nak. Kalau tak nak, apalah daya. Perkuat dengan keteladanan warna bangsa Indonesia, kalau memang Ya.
Coba Terapkan Langsung (CTL@Firdaus LN) nilai-nilai kearifan Panca Sila dalam setiap tarikan nafas anak bangsa. Pendekatan ini juga dipandang serasi dan selaras dengan pendekatan Aristotelian, Belajar melalui Tindakan (Learning by Doing).
Jika diamalkan sejak dini (Nursery, dia akan mencuatkan Tanduk tajam yang dapat menyundul, menikam, menembus, dan mematikan serangan kuman-kuman budaya asing yang akan memutuskan dan mengupas lem perekat budaya dalam tenunan Panca Sila yang katanya Sakti itu.
Jika tidak, maka tenunan kohesi dan kesolehan sosial lama kelamaan akan terlepas dan bercerai-berai.
Akan tetapi jikalau amalan laknatullah sebagai mana dipahat oleh Budayawan Taufiq Ismail melalui puisi berikut ini terus menerus diperagakan, maka buruk lah padah nya nasib Indonesia Tanah Air Ku:
"Penamaan koruptor sudah tidak menggigit lagi kini. Istilah korupsi sudah pudar dalam arti Lebih baik kita memakai istilah maling.
Maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati. Dan lihat kini jendela dan pintu rumah Indonesia dimakan rayap.
Kayu kusen, tiang, kasau rumah Indonesia dimakan anai-anai. Dinding dan langit-langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap.
Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia dijarah anai-anai.
Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap.
Rumah Indonesia menunggu waktu, masa robohnya yang sempurna.”
[Penggalam Puisi Taufiq Ismail yang dibacakan dalam Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki 1425H]
Haaaa…apa maciam? Tak mau juga insyaf?
Baiklah saya akhiri saja rajutan reflektif mengenang kembali Kelahiran Pancasila tahun ini.
Tahun ini, umur saya juga sama dengan umur Lemhannas RI yang menapak ke 56. Ini juga mengingatkan saya ketika 12 tahun silam mengikuti PPSA XVI tahun 2009 Lemhannas RI.
Maka, perkenankan saya menyedut goresan kalam tajam Mantan Gubernur Lemhannas RI, allahyarham Prof. Dr. Muladi, SH dalam Kata Sambutannya untuk Buku Taufiq Effendi (2008) tentang Jati Diri Bangsa Indonesia:
"Sejak Era Reformasi, boleh dikata apapun bentuknya, asal mengindikasikan Pancasila, orang merasa "jengah". Jangankan sengaja untuk membaca atau mempelajarinya. Menyebut nama Pancasila saja banyak yang enggan, miris dan merasa alergi. Pancasila dengan segenap perangkat yang terkait dengannya, terkesan sudah “cures” (extinct), hilang atau dengan sadar dihilangkan dari peredarannya. Teronggok sebagai simpanan koleksi benda-bendah sejarah".
Jika perangai yang itu tak muak-muak diperagakan kepada khalayak ramai anak-cucu-cicit kita, maka itu lah perilaku dekonstruktif yang merusak tatanan hidup berbangsa dan bernegara.
Bukan Amalan Sila Panca Sila, melainkan Amalan Pembawa Sial. Tengok lah ke dalam. Musibah, bencana, dan petaka yang tak berjeda melantak Indonesia Tanah Air Kita.
Ya ALLAH jauhkanlah zuriat anak-cucu Adam dari semua kedunguan itu…Please…!
Nauzubillahi min Zalliq….
L.N. Firdaus
Pendidik di FKIP Universitas Riau, Alumni Lemhannas RI


Komentar Via Facebook :