Berita / Feature /
Setelah 6 Tahun 'Konco Sawit'
Jajaran Direksi BPDPKS. Dirut BPDPKS, Eddy Abdurrachman (tengah). foto: ist
Jakarta, elaeis.co - Kalau suatu saat sentra-sentra kebun kelapa sawit di Indonesia punya macam-macam pabrik turunan kelapa sawit seperti Biodiesel, Bensin, Minyak Goreng atau Industrial Vegetable Oil (IVO), itu lumrah.
Pertama lantaran Indonesia sebenarnya sudah punya banyak hasil-hasil riset kelapa sawit yang bisa dikembangkan.
Apalagi enam tahun belakangan, Indonesia telah sengaja membikin Komite Litbang sawit di Badan Layanan Umum (BLU) nya bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Komite ini berkompromi dengan banyak pihak untuk melakukan riset itu. Mulai dari Kementerian ESDM hingga Lembaga Riset Institut Teknologi Bandung (ITB) maupun Institut Pertanian Bogor (IPB) digandeng, termasuklah Pemerintah Daerah yang melek soal inovasi ini.
Kedua, Direksi BPDPKS yang sekarang ternyata para petarung pula, tak mau hasil riset itu lama-lama ngendon di harddisk atau di perpustakaan.
Mana-mana hasil riset itu yang langsung bisa dikomersialisasikan, bergegas dikerjakan. Apalagi setelah ada katalis merah putih. Itulah makanya sekarang sudah ada sejumlah Demo Plant yang dibangun.
Katakanlah Demo Plant berkapasitas 1000 liter perhari di Kudus. Demo plant ini mengkonversi IVO (CPO+) menjadi bensin ber Oktan Number tinggi dan identik dengan bensin beremisi rendah bagi mobil racing Formula-1.
Terus di Cilacap ada pula Commercial Plant untuk mengkonversi Palm Karnel Oil (PKO) menjadi Avtur.
Di Musi Banyuasin yang menjadi daerah paling melek soal sawit ini, sudah ada pula dibangun pabrik IVO.
Jadi, inilah dasarnya kenapa munculnya macam-macam pabrik tadi bisa dibilang hal yang lumrah.
Langkah ini menurut banyak orang bakal membikin negara lain pusing lantaran impor minyak sawit mentah bakal sangat terbatas.
Sementara mereka sudah keburu membikin pabrik-pabrik turunan untuk mengolah minyak mentah tadi menjadi olahan yang bernilai jual lebih tinggi.
Beda dengan di dalam negeri, orang bakal banyak yang sumringah lantaran hadirnya pabrik-pabrik itu telah memantik cipratan lapangan kerja baru.
Nilai tambah produk semakin tinggi, dampak ekonominya kemana-mana. Bayangkan akan sebesar apa lagi dampak ekonomi itu disaat oleh dampak Tandan Buah Segar dan Crude Palm Oil (CPO) saja kata PalmOil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), nilai transaksi antara masyarakat yang bekerja langsung dan tak langsung di perkebunan kelapa sawit dengan sektor perkotaan mencapai sekitar Rp336 triliun per tahun.
Lalu, nilai transaksi antara sentra-sentra produksi bahan pangan pedesaan dengan masyarakat yang hidup di perkebunan kelapa sawit mencapai Rp92 triliun per tahun.
"Integrasi industri sawit dari hulu ke hilir sudah menjadi keniscayaan. Untuk itulah gimana caranya supaya kita punya luasan kebun yang cukup, produktifitas tinggi dan berkelanjutan," kata Direktur Penyaluran Dana BPDPKS, Edi Wibowo kepada elaeis.co pekan lalu.
Gimana membikin hasil produksi tinggi itu menjadi olahan yang punya nilai tambah tinggi, kalau dikonsumsi konsumen dia aman, menyehatkan dan punya manfaat signifikan, juga menjadi teramat penting.
"Kalau program biodiesel kan sudah di B30. Ini sudah sangat banyak mengurangi impor minyak solarlah. Sekarang kita sedang melakukan riset untuk B40 hingga B50. Implementasinya masih butuh sederet pertimbangan. Sekarang kami bersama para pihak sedang berusaha membikin inovasi untuk mengembangkan bahan bakar yang bisa menggantikan minyak gasoline yang saat ini masih sangat banyak diimpor. Tentu dengan harga yang bisa bersaing dengan bahan bakar fosil. Kebetulan gasoline itu saat ini masih diimpor dalam skala besar," lelaki 53 tahun ini mengurai.
Pola yang diharapkan dari program ini kata lelaki yang juga Plt. Direktur Kemitraan BPDPKS itu adalah memberdayakan Usaha Kecil Menengah Koperasi (UKMK) dan BUMD yang berkolaborasi dengan litbang dan kemitraan.
Dengan kolaborasi program tadi dan kontribusi para pihak terkait, BPDPKS kata magister konversi energi Universitas Indonesia ini berharap pilot plant segera terwujud dan komersialisasinya segera terlaksana. Biar pekebun bisa lebih sejahtera dan rakyat Indonesia serta masyarakat dunia bisa lebih nyata menikmati manfaat sawit.
Ini tentu akan sejalan dengan tujuan utama BPDPKS lahir; menjaga stabilisasi industri sawit yang berkelanjutan demi mensejahterakan pekebun.
Apa yang diurai oleh mantan Kasubdit Penyiapan Program Bioenergi pada Direktorat Bioenergi pada Ditjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM ini bisa dibilang bukan isapan jempol lantaran dalam sebuah webinar, Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi LPPM IPB, Prof Erliza Hambali sudah pula mengurai bahwa sebenarnya, banyak usaha turunan minyak sawit yang bisa digarap oleh UKMK.
"Metil ester, biodiesel, gliserol hingga asam lemak, memang harus industri besar. Tapi untuk produk setelahnya --- oleokimia turunan --- banyak yang bisa dikembangkan oleh UKM dan Koperasi," katanya.
Untuk energi juga begitu, tak melulu industri besar. Kalau untuk membikin Biodiesel, Green Gasolin, Green Olefin, Green Diesel dan Green Jet dengan investasi besar, tapi untuk membikin bio briket, bio pelet, pemanas, bio oil, asap cair, bisa oleh UKM dan Koperasi. "Jadi, sawit ini sangat mengakomodir ragam pelaku usaha," Erliza memastikan.
IPB sendiri kata Erliza sudah bekerjasama dengan BPDPKS mengembangkan handsanitizer berbahan gliserol sawit dan handsoap berbahan metil ester sulfonat.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, sangat mengapresiasi semua terobosan yang sudah dilakukan oleh BPDPKS itu.
Bagi Apkasindo kata Gulat, BPDPKS sudah all out, bahkan lebih, dalam mendorong sawit Indonesia untuk naik kelas.
"Tidak ada yang instan, semua berproses, dan proses yang dijalani oleh BPDPKS untuk menghasilkan terobosan-terobosan luar biasa, menurut saya cukup singkat. Soal masih ada kekurangan di sana-sini, saya pikir bukan sesuatu yang harus dipertentangkan, tapi justru kita yang memberesi bersama-sama," katanya.
Gulat kemudian mencontohkan PSR, kalau BPDPKS tidak ada, sampai sekarang belum tentu akan ada hibah replanting kebun kelapa sawit.
"Dan ini kali pertama hibah duit sebesar itu, Rp30 juta perhektar. Nah, kalau kemudian ada kekurangan di sana-sini terkait PSR, ayo kita sempurnakan. Yang namanya program, biasa kok dilakukan penyempurnaan," ujarnya.
Kemarin kata Gulat, BPDPKS genap berusia 6 tahun, petani sawit Apkasindo di 144 kabupaten kota di 22 provinsi berharap, hari ini menjadi tangga bagi BPDPKS untuk semakin konsisten, khususnya untuk program PSR.
Lalu gimana caranya supaya program SDM petani dan Sarpras yang dicita-citakan petani, tahun ini bisa segera launching.







Komentar Via Facebook :