Berita / Serba-Serbi /
Seminar ini Dituding Upaya Legalisasi Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan
 
                Ilustrasi kebun sawit (Dok./Muhammad Azwar)
Pekanbaru, Elaeis.co - Penyelenggaraan Seminar Nasional “Permasalahan, Prospek dan Implikasi Sawit Sebagai Tanaman Hutan” yang dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor (IPB) dikecam oleh Koalisi Eyes on The Forest (EoF). Para aktivis lingkungan itu menilai tujuan seminar bertentangan dengan tekad pemerintah Indonesia untuk berkontribusi mengurangi ancaman krisis iklim (climate crisis) dan menahan laju deforestasi.
Aktivis EoF, Nursamsu, mengatakan, upaya untuk menjadikan kelapa sawit sebagai produk tanaman hutan merupakan tindakan kontraproduktif.
"Akan menghancurkan lebih banyak hutan dan menjungkir-balikkan peraturan, keilmuan dan kebijakan kehutanan yang sudah ada," katanya dalam siaran pers yang diterima Elaeis.co.
Menurutnya, upaya menjadikan sawit sebagai tanaman kehutanan bukan kali pertama dilakukan. Pada 14 April 2018, Fakultas Kehutanan IPB bersama Pusat Kajian dan Advokasi Konservasi Alam, Kemenko Perekonomian RI, dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menaja Focus Group Discussion (FGD) “Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika” di Bogor.
Tokoh-tokoh di balik seminar dan FGD tersebut, katanya, memiliki rekam jejak atau track record sebagai akademisi yang setia membela perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terlibat tindak pidana dan proses penegakan hukum. Seperti Prof Yanto Santoso, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, katanya, adalah saksi ahli yang membela perusahaan perkebunan kelapa sawit di pengadilan. Dia menjadi ahli pada perkara perdata PT Jatim Jaya Perkasa vs KLHK, perkara perdata KLHK vs PT National Sago Prima, serta Frans Katihokang GM PT Langgam Inti Hibrindo saat menjadi terdakwa kasus karhutla di Riau.
Dia menambahkan, Yanto juga mengetuai Tim Pakar IPB yang beranggotakan Dr Ir Basuki Sumawinata, Dr Ir Gunawan Djajakirana, Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, Dr Ir Bahruni dan Dr Ir Lailan Syaufina, pada permohonan uji materil Pasal 5 dan Lampiran II Permen LHK No. 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Permohonan itu diajukan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ke Mahkamah Agung pada 28 April 2017.
GAPKI menilai permen tersebut bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 12 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Menurut GAPKI, penegakan hukum pidana dan perdata lingkungan hidup, jika dibiarkan, berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit nasional," kata Nursamsu.
“Jelas sekali bahwa kepentingan dari seminar yang diadakan oleh Prof Yanto adalah kepentingan dari perusahaan-perusahaan besar. Sama sekali bukan kepentingan petani, apalagi lingkungan hidup,” Made Ali, Koordinator Jikalahari, menambahkan.
Dia khawatir, jika sawit dijadikan tanaman hutan, maka akan menghilangkan kejahatan korporasi dalam kasus kebun sawit dalam kawasan hutan. Alhasil, upaya untuk mengurangi kerugian negara akibat hilangnya pajak karena sawit dikembangkan dalam kawasan hutan akan jadi sia-sia.
Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, orang perseorangan atau korporasi yang sengaja atau lalai melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan atau membeli sawit dari kawasan hutan bisa dipidana.
Dia lantas mengutip data Kementerian Pertanian tahun 2019 yang menyebutkan ada sekitar 3,4 juta hektar kebun sawit ilegal berada dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia.
“Fenomena sawit dalam kawasan hutan tidak bisa diremehkan, terjadi masif dengan kerugian negara triliunan rupiah karena perusahaan-perusahaan yang menanam sawit tidak membayar pajak kepada negara," katanya.
"Kerusakan hutan dan ekosistem tak kalah besarnya. Masalah ini harus diselesaikan, pelakunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan mengembalikan fungsi hutan lindung dan konservasi sesuai aturan,” Boy Even Sembiring, Direktur WALHI Riau, menimpali.
Menurutnya, akselerasi legalitas wilayah kelola rakyat yang diusung oleh pemerintah layak didukung. Terlebih ada skema dialogis dengan memperhatikan aspek keterlanjuran alih fungsi kawasan hutan dan rehabilitasi serta pemulihan lingkungan bersama masyarakat.
“Secara ekologis, sawit bukan tanaman kehutanan dan menjadi ancaman serius terhadap laju deforestasi. Pilihan perhutanan sosial sebagai kebijakan transisi pemulihan hutan Indonesia diharapkan mampu menghentikan praktik represif terhadap keberadaan rakyat di kawasan hutan, bahkan dapat mendorong memulihkan relasi sakral masyarakat, khususnya masyarakat adat dengan alam,” ujarnya.







Komentar Via Facebook :