Berita / Nasional /
Sekjen SPKS: Perampokan 'Legal' Dalam Industri Sawit
Ilustrasi-petani kelapa sawit di Kabupaten Siak, Riau. (Sahril Elaeis)
Jakarta, elaeis.co - Beberapa pekan belakangan ini harga tanda buah segar (TBS) di beberapa wilayah sentra kelapa sawit terus bergerak naik. Namun tetap terdapat beberapa daerah di Nusantara yang justru harga TBS-nya masih rendah.
Seperti dicontohkan Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, wilayah Sulawesi, terutama Sulawesi Barat. Wilayah itu memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah lain.
"Di sana perusahaan kelapa sawit tidak banyak bahkan juga tidak terlalu besar. Namun kecenderungannya harga ditentukan semau perusahaan," kata Darto kepada elaeis.co, Senin (15/8).
Darto mengatakan, pemerataan harga tentu juga perlu menjadi pertimbangan. Namun terlebih dahulu perlu dievaluasi indeks K dalam rumus perhitungan TBS untuk penetapan harga.
Menurutnya, indeks K adalah perampokan yang dilegalkan. Sebab didalamnya mengatur biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan namun justru ditanggung oleh petani.
"Misalnya upah karyawan, biaya rehabilitasi mesin, perawatan dan pemeliharaan lingkungan. Bahkan juga sampai penerangan pabrik tersebut," rincinya.
Jadi, menurut Darto harga TBS tidak akan bisa tinggi di Indonesia. Lantaran rumus perhitungannya sudah seperti itu. Meskipun harga CPO tinggi.
"Proses perhitungan menggunakan rumus yang tidak fair. Sudah lah petani yang tanggung dan membiayai, namun tidak pula mendapatkan saham dari pabrik," bebernya.
Darto menduga jangan-jangan hasil kebun perusahaan pengolahannya justru dibiayai oleh petani yang dibungkus dalam indeks K tersebut. Sebab kelapa sawit yang masuk pabrik bukan hanya milik petani, tapi juga dari perkebunan inti perusahaan.
"Besaran indeks K Rp300-Rp400/kg. Itu juga masih di luar potongan atau greding saat penjualan," tuturnya.
Maka menurut Darto ini perlu dirasionalkan. Apakah indeks K itu perlu dihapus atau ditentukan dengan angka yang wajar.







Komentar Via Facebook :