Berita / Sumatera /
Sederet Masalah ini Jadi Kendala Implementasi ISPO Bagi Petani Swadaya di Jambi

Replanting kebun petani swadaya di Jambi. foto: Bapeltan Jambi
Jambi, elaeis.co - Tim peneliti Grant Riset Sawit (GRS) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari LPPM Universitas Jambi (unja) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama Stakeholders Perkebunan Kelapa Sawit di Jambi. Mengangkat tema “Strategi Implementasi Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan”, kegiatan berlangsung di Aula Drs A Hakim Lubis LPPM Unja.
Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Perencanaan Kerja Sama, dan Sistem Informasi Unja, Prof Dr H Rayandra Asyhar. Hadir juga dalam kegiatan FGD, Ketua LPPM Unja, Dr Ade Octavia, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Kepala Dinas Perkebunan Peternakan dan Perikanan Kabupaten Muaro Jambi, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat, akademisi/pakar ahli, NGO, perusahaan sawit, perwakilan Gapoktan dan KUD dari Kabupaten Muaro Jambi dan Batanghari (memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO), dan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Unja.
Ketua tim peneliti GRS, Dr Fuad Muchlis mengatakan, FGD ini merupakan bagian dari kegiatan Program GRS BPDPKS tentang Persepsi dan Adopsi Petani Terhadap Implementasi ISPO: Sebuah Analisis, Review dan Outlook.
“Kebijakan tentang Standar ISPO sudah dimulai sejak tahun 2009, dan menjadi kewajiban bagi perusahaan. Kebijakan ini diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 yang juga memberi mandatory bagi smallholders atau petani swadaya. Namun hingga saat ini, masih sangat minim smallholders yang telah mendapatkan sertifikasi ISPO, sehingga diperlukan kajian untuk merumuskan strategi dan dan menyusun policy brief untuk mendorong pelaku perkebunan kelapa sawit, terutama smallholders agar memiliki pengetahuan, pemahaman dan kesadaran untuk mengimplementasikan praktek kelapa sawit yang lestari dan berkelanjutan, dan prinsip dan kriteria ISPO lainnya,” jelas Fuad dalam keterangan resminya akhir pekan lalu.
Rayandra Asyhar menambahkan, sebagai suatu kebijakan yang bersifat mandatory (wajib) bagi seluruh stakeholders perkebunan kelapa sawit, diperlukan sinergi dukungan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah.
“Kami menyambut baik FGD ini, kehadiran dan sumbangsih gagasan, pengalaman dan praktik baik para stakeholders akan memperkuat sinergi dan kolaborasi riset-riset yang dilakukan Unja, termasuk isu tentang sertifikasi kelapa sawit ini,” ujarnya.
FGD tersebut berhasil mengidentifikasi berbagai permasalahan yang dihadapi terkait implementasi ISPO antara lain sebagian besar petani masih menggunakan bibit yang tidak bermutu, sengketa lahan dan sengketa kemitraan antara petani dengan perusahaan, masih lemahnya kemitraan dan peran kelembagaan terkait replanting, reward, utamanya harga yang diterima petani penerima ISPO dan non ISPO, serta masih kurangnya pemahaman tentang Good Agriculture Pracrice (GAP) untuk mendukung kelapa sawit yang berkelanjutan.
Beberapa solusi yang mengemuka dan menjadi rumusan hasil diskusi, antara lain perlunya pendampingan dan pelatihan secara komprehensif tentang GAP, pemahaman tentang pentingnya replanting dengan bibit bermutu, penguatan kemitraan yang saling menguntungkan, peningkatan peran kelembagaan dalam menyelesaikan masalah petani terutama dalam implementasi ISPO, adanya kebijakan reward kepada smallholders penerima sertifikat ISPO, terutama terkait penentuan harga bertanggung jawab dan komitmen bersama multistakelholders kelapa sawit, untuk saling bekerjasama dan memberi dukungan, baik pekebun sebagai pelaku utama, pemerintah, perusahaan, NGO dan akademisi.
Komentar Via Facebook :