Berita / Pojok /
Sawitku Masih di(Sakit)i
Hamparan sawit petani di Landak, Kalimantan Barat. foto: aziz
Korte Chocolate. Merek dagang milik CV. Mitra Korte Kreasi ini menjadi penutup cerita buruk kelapa sawit Indonesia di tahun 2023.
Usaha yang dirintis oleh Jeffry Lukito sejak 2014 di Surabaya Jawa Timur ini pun 'dibombardir' oleh para pelaku sawit melalui media setelah kedapatan mencantumkan 'Palm Oil Free' pada kemasan coklatnya.
Belum ketahuan apa motif Jeffry mencantumkan label Palm Oil Free tadi lantaran belum satupun media yang mengkonfirmasi perusahaan yang sudah mengekspor coklat olahan ke Malaysia, Singapura hingga Kuwait itu.
Bisa jadi Jeffry tak bermaksud buruk di balik pencantuman label Palm Oil Free itu. Sebab bisa jadi pula, banyak langganannya yang lebih doyan coklat murni (tanpa minyak sawit).
Baca juga: Dilabeli Palm Oil Free, Ketum Santri Tani Minta Kapolri Usut Produsen Cokelat Merek Ini
Sama seperti orang Indonesia yang banyak juga memilih memakai minyak kelapa, kedelai atau kanola ketimbang minyak sawit.
Ini kelihatan dari menjamurnya gerai minyak nabati selain sawit di supermarket-supermarket, tak terkecuali di Pekanbaru, Riau.
Di sisi lain, sensitifitas para pelaku sawit atas pencantuman label Palm Oil Free itu, tak bisa pula disalahkan.
Sebab sudah berpuluh tahun sawit menjadi bulan-bulanan di luar Indonesia, khususnya di Eropa dan Amerika.
Dan lima tahun terakhir, bulan-bulanan itu justru masif terjadi di dalam negeri. Sawit terang-terangan didakwa oleh KLHK masuk dalam kawasan hutan. Luasnya mencapai 3,374 juta hektar.
KLHK merinci, sekitar 91 ribu hektar berada di Hutan Konservasi, kisaran 155 ribu hektar di Hutan Lindung, 501 ribu hektar di Hutan Produksi Tetap (HP), 1,49 juta hektar di Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan sekitar 1,2 juta hektar di Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK).
Sampai sekarang, tidak jelas, berapa luas kebun rakyat yang didakwa masuk dalam kawasan hutan dan berapa pula milik perusahaan.
Dan sampai sekarang tidak pula ada bukti-bukti yang kuat atas dakwaan (sawit masuk dalam kawasan hutan) itu kecuali peta warna warni dan sejumlah SK penunjukan.
Padahal, menurut UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan bahkan UU 5 tahun '67 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, yang namanya penunjukan, masih hanya tahap awal dari proses penetapan kawasan hutan.
Dan sesungguhnya, hakikat kawasan hutan atau bukan kawasan hutan itu adalah keabsahan hak atas tanah, bukan apa yang tumbuh di tanah itu.
Namun lantaran kebetulan sawit sedang booming menjadi objek yang dibencikan, maka sawitlah yang dijadikan objek atas kawasan hutan dan bukan kawasan hutan tadi. Biar lebih seksi. Bukan lagi tentang hak atas tanah tadi.
Meski begitu, tak satu pun pelaku sawit yang melaporkan kelakuan semacam ini kepada Aparat Penegak Hukum (APH), meski kebun sawitnya sudah dipasangi patok kawasan hutan. Tak terkecuali mereka yang sawitnya sudah berumur lebih dari 30 tahun dan sudah pula bersertifikat.
Dakwaan sawit masuk dalam kawasan hutan itu akhirnya menjadi sebuah pembenaran dan kebenaran. Dibuatlah aturan-aturan penyelesaian lengkap dengan denda yang musti dibayarkan. Nilainya luar biasa mahal. Yang tak sanggup bayar, siap-siap sawitnya ditebangi.
Korte, bisa jadi hanya memenuhi selera orang yang tak suka mengkonsumsi minyak sawit. Dan siapapun punya hak untuk tidak mau mengkonsumsi. Itu pula makanya banyak pilihan lain (minyak nabati) yang gampang ditemukan di Indonesia.
Namun dakwaan sawit masuk dalam kawasan hutan hingga kemudian menjadi sebuah kebenaran yang dibenarkan secara masif meski tanpa bukti yang kuat, apakah ini tidak melebihi atas apa yang dilakukan oleh Korte?
Selamat Tahun Baru 2024







Komentar Via Facebook :