https://www.elaeis.co

Berita / Papua /

Sawit Papua Diperdebatkan, Pengamat: Jangan Salah Baca, Ini Soal Energi dan Kedaulatan

Sawit Papua Diperdebatkan, Pengamat: Jangan Salah Baca, Ini Soal Energi dan Kedaulatan

Trubus Rahadiansyah


Jakarta, elaeis.co – Wacana pengembangan kelapa sawit di Papua kembali ramai diperbincangkan publik. Beberapa pihak menyoroti dampak lingkungan dari ekspansi sawit, namun pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menegaskan, isu ini jangan hanya dibaca dari kacamata lingkungan semata. 

Menurutnya, sawit di Papua sejatinya bagian dari strategi ketahanan energi dan kedaulatan nasional.

Trubus, yang juga Guru Besar Universitas Trisakti, menyatakan bahwa kebijakan publik tidak pernah sepenuhnya bebas risiko. 

“Pertanyaan sebenarnya bukan apakah ada pengorbanan, melainkan pengorbanan mana yang paling kecil dengan hasil yang paling besar bagi daya tahan bangsa,” ujarnya dalam keterangan pers, Rabu (24/12).

Ia menjelaskan, capaian swasembada beras nasional pada 2025 belum cukup untuk menjamin ketahanan pangan dan energi Indonesia, terutama di daerah-daerah rawan. 

Jawa, Sumatera, dan Sulawesi relatif aman, tetapi Kalimantan dan Papua masih menghadapi kerentanan serius. 

Khusus di sektor energi, hampir seluruh pulau mengalami defisit bahan bakar minyak, dengan Papua berada di posisi paling rawan akibat konsumsi tinggi, produksi terbatas, dan ketergantungan logistik yang ekstrem.

“Dalam kondisi normal, distribusi bisa menutup kerentanan ini. Namun, saat krisis seperti bencana besar atau gangguan logistik global, titik lemah ini akan terlihat nyata,” kata Trubus.

Terkait pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal sawit Papua, Trubus menekankan bahwa pengembangan sawit harus dipahami sebagai opsi strategis untuk menjaga ketersediaan energi nabati, bukan dorongan pembabatan hutan secara masif. 

Ia menekankan pentingnya pengurangan konsumsi energi fosil melalui elektrifikasi, pemanfaatan kendaraan listrik untuk pertambangan dan logistik, serta pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya dan air.

“Sawit bukan solusi ideal, tetapi saat ruang pilihan menyempit, ini adalah opsi paling rasional. Menolak sawit berarti menerima risiko ketergantungan energi jangka panjang yang merugikan bangsa,” jelas Trubus.

Trubus juga menekankan bahwa pengembangan sawit harus dilakukan secara ketat: lokasi terkontrol, perlindungan ekologis maksimal, dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat. 

Menurutnya, pilihan antara pengorbanan lingkungan yang dikelola dengan baik atau pengorbanan kedaulatan energi yang permanen, negara yang bertanggung jawab harus berani memilih yang pertama.

Sejarah, kata Trubus, menunjukkan bahwa krisis selalu datang tiba-tiba. “Bangsa yang mampu bertahan adalah bangsa yang menyiapkan dirinya sejak dini, meski harus membayar harga yang tidak nyaman. Sawit untuk swasembada energi adalah investasi ketahanan nasional, bukan sekadar ambisi ekonomi,” ujarnya.

Pengamat ini juga menyoroti pentingnya pemahaman publik agar tidak mudah terbawa isu viral di media sosial. Sawit sering kali dipandang hanya dari sisi negatif lingkungan, padahal manfaatnya dalam menopang ekonomi daerah dan menyokong devisa negara tidak bisa diabaikan.

Dengan konteks itu, Trubus menegaskan, diskusi publik dan kebijakan harus seimbang yaitu menjaga lingkungan, menghormati masyarakat lokal, dan memastikan ketersediaan energi untuk masa depan Papua dan Indonesia secara keseluruhan.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :