Berita / Nasional /
Sawit di Perbukitan Tetap Gacor, Begini Tips dari PPKS
Jakarta, elaeis.co - Sawit di lahan berbukit sering dianggap berisiko rendah produktivitas. Banyak pekebun ragu, khawatir pohon tidak tumbuh maksimal atau hasil panen jauh di bawah rata-rata.
Namun, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) menegaskan, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Faktanya, sawit tetap bisa “gacor” alias produktif tinggi di lahan perbukitan, asal dikelola sesuai standar operasional prosedur (SOP).
Hal itu ditegaskan Djend Muhayat, peneliti PPKS, dalam tayangan PPKS TV dari areal kebun sawit di Cibungur, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Lokasi kebun tersebut berada di ketinggian sekitar 400 meter di atas permukaan laut (mdpl), berbeda dengan banyak riset sawit yang umumnya dilakukan di lahan datar di Sumatera maupun Kalimantan.
“Berkebun di areal berbukit, ketika kita mengikuti aturan SOP yang harus dijalankan, tidak usah khawatir. Produktivitas tetap bisa tinggi,” kata Djend Muhayat, dilansir dari PPKS TV.
Menurut Djend, salah satu varietas yang terbukti cocok ditanam di perbukitan adalah Varietas Langkat PPKS. Varietas ini sudah ditanam sejak 2019 di Sukabumi dan kini memasuki tanaman menghasilkan tahun pertama (TM1).
“Hasilnya mencapai 16 ton per hektare. Ini membuktikan bahwa di tanaman di areal perbukitan pun bisa mendapatkan produktivitas tinggi,” ujarnya.
Varietas langkat sendiri dikenal dengan pelepah pendek. Karakter ini memberi keuntungan: cahaya bisa masuk lebih merata, tajuk tanaman tidak saling menutupi, dan potensi produksi tandan per pohon lebih besar.
Djend menambahkan, kunci lain berkebun sawit di lahan miring adalah teras kontur. Teknik ini membuat tanaman mengikuti pola kontur tanah. Selain mengurangi risiko erosi, air hujan lebih mudah terserap dan perakaran pohon jadi lebih stabil.
“Kalau di lahan datar, barisan tanam lurus. Nah, di bukit, barisan itu tergambarkan lewat teras kontur. Dengan cara ini, erosi bisa ditekan dan air lebih mudah diserap,” jelasnya.
Teras kontur juga berpengaruh pada jarak tanam. Untuk varietas langkat, rekomendasi jarak tanam adalah 9,9 meter. Tetapi, di lahan miring, jarak antar teras biasanya bertambah, dari semula 8 meter menjadi 8,4–8,5 meter. Konsekuensinya, populasi pohon per hektare berkurang dari 143 pokok di lahan datar menjadi 135–136 pokok.
“Meski jumlah pohon lebih sedikit, solum tanah di sini masih dalam dan bagus. Jadi, produktivitasnya tetap bisa optimal,” ungkap Djend.
Selain varietas dan pola tanam, Djend menekankan pentingnya pemupukan yang tepat waktu dan sesuai dosis. Di lahan miring, unsur hara mudah hanyut terbawa air hujan. Bila tidak dikelola dengan baik, tanaman akan kekurangan nutrisi dan produktivitas bisa anjlok.
“Kuncinya adalah mengikuti rekomendasi pemupukan sesuai SOP. Jadi jangan sampai lalai, karena pemupukan sangat menentukan keberhasilan panen,” katanya menegaskan.
Pengalaman di Cibungur, Sukabumi, menjadi bukti nyata bahwa sawit di kawasan berbukit tetap bisa produktif tinggi. Asalkan varietas yang dipilih tepat, teras kontur diterapkan dengan benar, jarak tanam disesuaikan, serta pemupukan dikelola disiplin, maka hasil panen tidak kalah dengan lahan datar.
“Jadi sahabat PPKS tidak usah khawatir di areal bukit. Asal kita mengikuti anjuran, mulai dari jarak tanam, pemilihan varietas, hingga pemupukan, produktivitas tetap tinggi,” pungkas Djend Muhayat.
Hasil riset lapangan ini sekaligus membuka peluang lebih luas bagi petani di berbagai wilayah Indonesia dengan topografi perbukitan. Lahan yang sebelumnya dianggap kurang ideal, ternyata bisa menjadi ladang emas baru jika diolah dengan tepat.







Komentar Via Facebook :