Berita / Nasional /
Satgas PKH Sita Ribuan Hektar Kebun Sawit PBS, Dikhawatirkan Berujung Perebutan Lahan
Satgas PKH memasang plang penyitaan di lahan perusahaan sawit di Kalteng. Foto: ist.
Jakarta, elaeis.co – Ribuan hektare perkebunan sawit yang dikelola perusahaan besar swasta (PBS) di Kalimantan Tengah disita dan disegel oleh Satgas Garuda Penertiban Kawasan Hutan (PKH) karena berada dalam kawasan hutan. Ironisnya, paska penyegelan dan penyitaan, aksi penjarahan buah sawit semakin merajalela.
Bulan lalu Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menerbitkan SK No. 36 Tahun 2025 yang berisi daftar 436 perusahaan sawit yang lahannya masuk dalam kawasan hutan. Daftar inilah yang menjadi dasar kerja bagi Satgas yang dibentuk Presiden Prabowo melalui Perpres No. 5 Tahun 2025 dan dipimpin oleh Menteri Pertahanan. Sejak awal bulan ini, Satgas telah menyegel serta menyita ribuan hektare lahan sawit di Kalimantan Tengah karena tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan.
Pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar Indonesia, Dr Sadino, mendesak pihak keamanan segera mengambil langkah tegas. Jika penjarahan tidak segera dihentikan, produktivitas industri sawit yang menjadi pilar utama perekonomian nasional akan terganggu.
“Saya khawatir penjarahan akan menjalar ke daerah lain, terutama yang sudah dipasangi plang tanda penyitaan. Ini bertentangan dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto agar produksi dan keberlanjutan industri sawit tidak terganggu,” katanya dalam keterangan pers, Senin (17/3).
Dia menyoroti lemahnya pengamanan kebun sawit sitaan akibat keterbatasan jangkauan dan pendanaan aparat. Sementara itu, keterlibatan TNI dalam pengamanan bukanlah bagian dari tugas pokok dan fungsinya. Situasi ini menimbulkan ketidakpastian bagi perusahaan, terutama karena Perpres No. 5 Tahun 2025 membuka celah bagi negara untuk mengambil alih lahan sawit, meskipun regulasi tersebut tidak secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
“Jika lahan dikuasai negara, masyarakat bisa salah tafsir dan merasa berhak mengambil hasil kebun, yang bisa berujung pada perebutan lahan. Ini dampak sosial yang luput dari perhatian Satgas,” tandasnya.
Menurutnya, pemasangan plang penguasaan sebelum status lahan jelas justru menimbulkan persoalan baru. “Negara akan kesulitan menangani dampak sosial ini. Perusahaan juga kehilangan kepastian hukum. Jika lahannya diambil alih, bagaimana status mereka? Ini perlu dijelaskan oleh Satgas,” imbuhnya.
Sadino juga menilai langkah Satgas bertentangan dengan Pasal 110A dan 110B UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Jika lahan dengan izin Hak Guna Usaha (HGU) tetap disita, investor bisa kehilangan kepercayaan dan menarik diri dari sektor perkebunan.
“Status hukum Satgas sendiri bisa diperdebatkan. Siapa yang sebenarnya berhak atas lahan yang dijarah? Proses pengambilalihan tidak bisa sembarangan dan harus memperjelas hak serta kewajiban antara pemilik sebelumnya dan Satgas. Saat ini, kedudukan hukumnya masih rancu,” kritiknya.
Keberadaan Satgas seharusnya tidak sampai menghambat produksi dan keberlanjutan industri sawit. “Satgas harus memilah izin usaha dengan lebih teliti. Jangan hanya mengacu pada Kementerian Kehutanan. Jika tanah sudah bersertifikat seperti SHM, HGB, atau HGU dan bukan kawasan hutan, maka harus dikeluarkan dari penyitaan,” tegasnya.
Data Kemenhut, sekitar 3,4 juta hektare dari total 16 juta hektare kebun sawit berada di dalam kawasan hutan, baik milik perusahaan maupun masyarakat. Padahal, industri sawit berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Pada 2023, kapasitas produksi industri sawit nasional mencapai Rp 729 triliun, dengan kontribusi ke APBN sebesar Rp 88 triliun, yang terdiri dari penerimaan pajak Rp 50,2 triliun, PNBP Rp 32,4 triliun, dan Bea Keluar Rp 6,1 triliun. Sektor ini juga menyerap 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja.
Sadino menegaskan bahwa lahan sawit yang masih dalam proses perizinan harus didukung hingga ada penyelesaian resmi. Pasalnya, HGU dan kebun sawit kerap menjadi agunan kredit bank. Jika Satgas bertindak ceroboh, dampaknya bisa meluas ke sektor ekonomi.
“Lahan kebun sawit berbeda dengan tambang. Jika tidak dikelola dengan baik, hasilnya bisa rusak dan produksinya turun drastis. Sementara tambang, meskipun dipasangi plang larangan, kandungan mineralnya tetap ada dan tidak berpindah tempat,” pungkasnya.







Komentar Via Facebook :