Berita / Nusantara /
RSI Tolak SK Menhut No. 36/2025 Tentang Perusahaan Sawit di Kawasan Hutan, ini Alasannya
Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia, Kacuk Sumarto. Foto: dok. RSI
Jakarta, elaeis.co – Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) No. 36 tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan atau Permohonannya di Kementerian Kehutanan bikin heboh. Sejumlah kalangan menolak SK yang menyebut sebanyak 436 perusahaan perkebunan sawit beroperasi dalam kawasan hutan tanpa izin itu.
Rumah Sawit Indonesia (RSI) termasuk yang keberatan dengan terbitnya SK Menhut tersebut karena dinilai tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan apakah perkebunan kelapa sawit beroperasi di dalam kawasan hutan.
Apalagi banyak perusahaan sawit yang masuk dalam daftar pada SK 36 tersebut sudah memiliki alas legalitas lahan yang sah berupa HGU (Hak Guna Usaha) yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Ada kebun yang HGU-nya sudah perpanjangan, tapi masuk dalam daftar SK 36. Mestinya, SK yang bersifat penunjukan tidak bisa dijadikan dasar penetapan kawasan hutan. Harus ada proses verifikasi lapangan, pengukuran dan lain-lain,” kata Ketua Umum RSI, Kacuk Sumarto, dalam keterangan tertulis dikutip elaeis.co Kamis (20/2).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, SK Penunjukan Kawasan Hutan tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk menetapkan suatu lahan berada di dalam kawasan hutan. Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 15, Penunjukan Kawasan Hutan adalah awal dari proses penetapan Kawasan Hutan, yang melalui 4 (empat) tahapan.
“Terbitnya SK Menhut No. 36 tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan, harus dicek terlebih dahulu, dasar pengenaannya oleh SK yang mana, SK Penunjukan atau SK Penetapan. Kalau hanya SK Penunjukan, ya tentunya tidak sah untuk mengatakan suatu lahan masuk di dalam kawasan hutan,” jelas Kacuk.
Masyarakat yang mempunyai alas hak yang kuat (SHM, HGB atau HGU), harus berani menggugat. “Jangan sampai terjadi kriminalisasi kepada masyarakat yang mempunyai alas hak yang legal. Boleh saja pemerintah menarik kembali lahan yang dikuasai oleh masyarakat untuk kepentingan umum, misalnya: pembangunan jalan, waduk atau fasilitas umum lainnya, akan tetapi harus dihargai hak-hak perdata masyarakat yang berada di dalam lahan tersebut,” lanjut Kacuk.
Inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penetapan kawasan hutan akan membawa dampak secara global. Saat pelaku usaha dan petani kelapa sawit telah berkomitmen untuk patuh pada seluruh peraturan dan menerapkan tata kelola secara berkelanjutan, pemerintah justru menuding perkebunan sawit ada di kawasan hutan.
“Ini akan semakin menyulitkan komoditas minyak sawit untuk menembus pasar Eropa. Orang Eropa akan bilang, pemerintah Indonesia yang mengatakan bahwa ada kebun sawit di kawasan hutan,” kata Kacuk.
Bagi pelaku usaha dan petani sawit, SK 36 Menhut tidak masuk akal. Bahkan ada beberapa perusahaan yang HGU-nya sudah perpanjangan, masuk juga dalam daftar kebun yang masuk kawasan hutan.
“Ada perusahaan perkebunan yang pernah menggugat SK Menhut terkait penunjukan kawasan hutan dan gugatannya dikabulkan. Mengapa dikabulkan? Karena SK penunjukan tidak sah dijadikan dasar menetapkan lahan tersebut masuk kawasan hutan, apalagi dituding melakukan deforestasi,” paparnya.
Selanjutnya, Kacuk menambahkan, RSI mendukung sepenuhnya langkah pemerintah untuk memberantas pelaku pembalakan hutan. “Namun untuk perusahaan perkebunan yang bersih dan patuh terhadap semua peraturan, seharusnya tidak disangkutpautkan,” tandasnya.







Komentar Via Facebook :