Berita / Nasional /
Romantisme Swasembada Pangan, Petani Sawit: Hilirisasi Tanpa Huluisasi Sama Sekali Tak Berguna
Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat Manurung.
Jakarta, elaeis.co – Isu swasembada pangan nasional kembali panas. Dalam Dialog Nasional HKTI bersama Menteri Pertanian, topik ketahanan pangan dan hilirisasi menjadi sorotan utama.
Namun, di balik jargon “swasembada pangan berkelanjutan” yang kerap digaungkan, petani sawit menyoroti masalah serius yang tak boleh diabaikan, hilirisasi tanpa huluisasi sama sekali tak berguna.
Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat Manurung, MP., C.IMA., C.APO, menegaskan bahwa romantisme swasembada pangan yang sering digaungkan pemerintah justru menutupi persoalan nyata di lapangan, yakni produktivitas perkebunan sawit rakyat yang belum maksimal.
“Kalau ekonomi petani sawit berputar, ekonomi secara umum ikut bergerak. Daya beli masyarakat sebagai dampak ekonomi sawit sangat penting untuk ketahanan pangan, karena kebutuhan pokok seperti beras bisa lebih terjangkau. Tapi jangan sampai hilirisasi jalan kencang sementara hulu berhenti,” tegas Dr. Gulat, Selasa (16/12).
Data NTP petani sawit yang mencapai 150–170 menunjukkan daya beli mereka lebih tinggi dibanding sektor pertanian lain. Artinya, sawit bukan sekadar komoditas, tapi penggerak ekonomi lokal dengan multiplier effect yang luas. Ironisnya, potensi ini kerap diabaikan dalam retorika swasembada pangan yang terdengar bombastis di media.
Dr. Gulat menekankan, hilirisasi misalnya pengembangan B50 berbahan baku sawit, sangat tepat. Namun tanpa dukungan perbaikan sektor hulu atau huluisasi, hilirisasi hanya menjadi “pesta tanpa bahan baku”.
“Sekarang hilirnya jalan kencang, tapi hulunya mogok. Suply bahan baku untuk hilir tidak bisa mengimbangi. Huluisasi sawit di Indonesia tertinggal jauh dari hilirisasi. Ini yang harus menjadi perhatian serius semua stakeholder sawit, termasuk pemerintah sebagai operator regulasi,” ungkapnya.
Lebih jauh, Dr. Gulat menegaskan bahwa Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi kunci untuk memperbaiki produktivitas dan menyelamatkan ketahanan pangan nasional. Tanpa huluisasi, hilirisasi hanya menjadi jargon manis, romantisme yang menipu publik.
“Berhentilah dengan romantisme saling klaim antar Kementerian/Lembaga. Kita harus menyatukan pemahaman ketahanan pangan melalui daya dukung ekonomi petani sawit. Dan itu hanya bisa tercapai dengan didirikannya Badan Kelapa Sawit Nasional (BKSN),” pungkasnya.
Indonesia memang kaya bahan pangan, tapi ketahanan pangan bukan sekadar stok beras. Menurut definisi, ketahanan pangan meliputi ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan yang cukup, aman, bergizi, merata, dan terjangkau. Generasi Z bahkan mulai mengurangi konsumsi beras, menambah kompleksitas perencanaan pangan nasional.







Komentar Via Facebook :