Berita / PSR /
Realisasi PSR Nol, Disbun Riau Beberkan Penyebabnya
Ilustrasi-perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak, Riau. (Dok. Elaeis)
Pekanbaru, elaeis.co - Tahun 2022 menjadi tahun kelam bagi Riau. Di mana pertama kali dalam sejarah, realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) justru 0. Padahal, perkebunan sawitnya paling luas di Indonesia.
Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Vera Virgianti mengatakan, hal ini terjadi lantaran adanya dua syarat baru yang dinilai mempersulit petani dalam memenuhi persyaratan PSR tersebut.
"Tahun 2022 ini persyaratannya berganti lagi. Regulasinya Permentan Nomor 3 Tahun 2022. Selain di luar kawasan hutan, ada syarat tambahan yang akan membuat Provinsi Riau semakin sulit mencapai target. Yaitu surat keterangan di luar kawasan lindung gambut," kata Vera dalam diskusi Problematika Perkebunan Sawit Rakyat di Riau, Selasa (27/12) kemarin.
"Regulasi ini dikeluarkan oleh Direktorat P2KL. Dan itu mereka baru melayani kita di pertengahan tahun. Memang regulasinya sudah keluar di bulan Maret, tapi baru bisa kita implementasikan di bulan Juli kemarin. Karena persyaratan yang baru ini ternyata belum dikoordinasikan dengan baik oleh kementerian terkait," tambahnya.
Vera menjelaskan, Riau akan menjadi daerah yang akan sulit mendapatkan PSR lantaran sebagian besar daratannya merupakan kawasan gambut.
"Sepengatahuan saya, di Indonesia hanya 5 atau 6 provinsi yang ada gambutnya termasuk Riau. Riau ini hampir 62 persen luas areanya itu gambut. Ada gambut budidaya dan gambut lindung. Dan petanya itu dikeluarkan oleh kementerian, skalanya sangat kecil 1 banding 250.000. itu yang dijadikan dasar," ujarnya.
"Kesulitan kita, ternyata di Riau ini banyak yang masuk di kawasan lindung itu. Jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini. Karena untuk menyatukan itu merupakan kewenangan KLHK," imbuhnya.
Sebenarnya, kata Vera, terkait kawasan gambut ini, Riau memiliki celah untuk melakukan uji terbalik. Artinya melakukan kaji ulang mengenai lahan perkebunan sawit yang ada di kawasan lindung gambut itu.
"Tapi itu SOP-nya belum ada juga. Jadi memang masih jauh untuk kita bisa menyelesaikan persoalan petani kita yang terindikasi di dalam kawasan lindung gambut," kesalnya.
Persyaratan baru kedua yang juga mempersulit petani adalah syarat bebas dari kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan. Di mana kebun yang akan di-replanting itu tidak boleh tumpang tindih dengan HGU.
"Ditambah lagi Kementerian ATR/BPN persyaratan bebas dari HGU. Petani kita rata-rata SHM-nya itu tahun 90-an. Dan itu belum masuk di database BPN, sehingga tidak bisa diterbitkan rekomendasinya. Jadi sekarang petani harus mengurus lagi peta taninya ke BPN agar masuk ke database BPN, dan itu membutuhkan biaya dan waktu juga," jelasnya.







Komentar Via Facebook :