https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Pupuk Jadi Ancaman Serius Kualitas PSR

Pupuk Jadi Ancaman Serius Kualitas PSR

Ketua Umum DPP Asosiasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE), Tolen Ketaren (Dok. pribadi)


Pekanbaru, Elaeis.co - Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang digalakkan Presiden Joko Widodo melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sejak tahun 2017 terancam macet. Hal ini karena pemerintah, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat, tidak mampu mengendalikan harga dan distribusi pupuk.

"Ini warning kami ke pemerintah, agar melihat persoalan pupuk ini dengan lebih mendalam. Harus ada tindakan dari pemerintah karena pupuk harganya tak terkendali dan susah didapat," kata Ketua Umum DPP Asosiasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE), Tolen Ketaren, kepada Elaeis.co, Sabtu (23/10/2021) siang.

Menurutnya, banyak petani anggota SAMADE di berbagai provinsi yang ikut PSR terancam tidak bisa melakukan perawatan kebun sawitnya karena kekurangan dana. "Duit Rp 30 juta per hektar bantuan BPDPKS itu jadi recehan nilainya dibuat pupuk yang makin mahal, enggak ada artinya duit itu untuk PSR," ujarnya.

Ia mencontohkan harga pupuk KCL yang beberapa hari lalu telah tembus Rp 550.000 per sak (isi 50  kilogram). "Meski harga tandan buah segar (TBS) naik tapi harga pupuk juga naik tak terkendali, petani sawit swadaya tetap mengalami defisit,"  jelasnya.

Kata dia, keluhan soal PSR belakangan ini semakin kencang disampaikan anggota SAMADE di berbagai provinsi. Yang terbaru, keluhan datang dari Provinsi Jambi. 

"Pak Ketua, tolonglah sampaikan ke Pak Jokowi soal pupuk ini. Itu kata mereka ke saya, dan umumnya curhat itu juga datang dari provinsi lain, dari SAMADE Aceh, Sumut, Riau, dan Sumsel," bebernya.

Terkait anjuran penggunaan pupuk hayati, Tolen mendukung hal itu. Tapi ia mengingatkan kalau perkebunan kelapa sawit tidak cukup hanya mengandalkan pupuk hayati, melainkan juga pupuk kimia. 

"Lagi pula, siapa yang bilang pupuk hayati murah. Itu para penjual pupuk hayati atau organik malah menerapkan minimal pembelian adalah Rp 5 juta," tandasnya.

Ia meminta soal pupuk hayati dan pupuk kimia tidak dijadikan perdebatan. Ia mengajak semua pihak agar mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab atas persoalan pupuk. "Sebab, produsen pupuk terbesar di Indonesia adalah holding BUMN Pupuk Indonesia," sebutnya.

Ia juga meminta forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) kabupaten/kota hingga provinsi bersuara ke pemerintah pusat agar menekan BUMN Pupuk Indonesia mendengarkan jeritan petani sawit.

Ia berharap DPRD setiap provinsi sentra perkebunan sawit, misalnya, menggelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk memanggil seluruh perwakilan BUMN Holding Pupuk Indonesia di daerah masing-masing. 

"Bapak dan ibu di DPRD bisa minta mereka menjelaskan kenapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana cara mengatasinya. Kalau dari daerah bersuara, biasanya didengar pemerintah pusat," kata Tolen.

"Kami ini, para petani sawit, tidak ingin disebut kaya mendadak dari kenaikan harga sawit. Padahal kami sendiri harus menebus mahal harga pupuk, harga alat pertanian seperti egrek yang juga naik, upah pekerja kami juga naik. Semua naik," pungkasnya. 


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :