https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

PSR Cegah Pembukaan Lahan Ilegal, Tapi Pelaksanaannya Masih Terkendala

PSR Cegah Pembukaan Lahan Ilegal, Tapi Pelaksanaannya Masih Terkendala

Para pembicara dalam webinar terkait pemberdayaan sawit rakyat (tangkapan layar)


Jakarta, Elaeis.co - Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sudah memberikan banyak manfaat langsung kepada industri sawit nasional, terutama kepada petani sebagai bagian dari rantai pasok. Namun selain itu, disadari atau tidak, PSR ternyata memberikan manfaat kepada kelestarian lingkungan.

"Program PSR itu mampu mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal seperti yang disuarakan pihak Uni Eropa melalui kebijakan mereka yang disebut LULUCF (Land Use, Land Use Change Forestry atau Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan)," kata Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Sunari.

Hal itu dikatakan Sunari dalam webinar yang bertajuk “Mendukung Pemberdayaan Perkebunan Sawit Rakyat” baru-baru ini.

Sunari mengatakan, ada empat aspek yang harus dipenuhi dalam program PSR. Pertama aspek legalitas, yakni petani swadaya yang berpartisipasi dalam program ini harus mengikuti aspek legalitas tanah. 

Kedua, aspek produktivitas, yakni pencapaian standar produktivitas untuk program penanaman kembali bagi perkebunan yang produktivitas tandan buah segar (TBS) masih di bawah 10 ton per hektar per tahun. “Termasuk kebun sawit rakyat yang kepadatan tanaman kurang dari 80 pohon per hektar," jelas Sunari.

Ketiga, aspek keberlanjutan (sustainability) yang mewajibkan program penanaman kembali mengikuti prinsip keberlanjutan, seperti tanah, konservasi, lingkungan, dan lembaga. 

"Aspek keempat adalah pemenuhan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Jadi, dengan memastikan prinsip keberlanjutan, peserta program ini diharuskan untuk mendapatkan sertifikasi ISPO pada panen pertama," kata Sunari. 

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono, mendukung pernyataan Sunari. Namun ia melihat dalam prakteknya, program PSR masih menghadapi beberapa kendala sehingga target 180.000 hektar untuk program PSR yang dicanangkan pemerintah setiap tahun jadi tidak terkejar.

Ia menyebutkan sejumlah persoalan yang membuat PSR berjalan tak sesuai harapan. Seperti dana PSR per hektar yang dicanangkan BPDPKS sebesar Rp 30 juta ternyata hanya cukup untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) 1.

“Lantas bagaimana dengan dana sampai tanaman menghasilkan atau TM1, sumber pendapatan pekebun selama tanaman belum menghasilkan?” tutur Mukti.

Lalu, problem kebun sawit yang dinyatakan masuk dalam kawasan hutan, termasuk perkebunan sawit milik petani sawit peserta perkebunan inti rakyat (PIR) dan eks transmigrasi. 

Mukti mengatakan, Undang Undang Cipta Kerja (UUCK) yang digadang-gadang menjadi solusi ternyata tidak bisa menjawab secara tuntas atas persoalan kebun sawit dalam kawasan hutan.

"Solusi UUCK itu hanya untuk sawit rakyat yang luasnya kurang dari lima hektar dan si petani wajib berdomisili di lokasi kebun sawit," kata Mukti.

GAPKI sendiri, kata Mukti, all out dalam mendukung program PSR dengan membentuk Satgas Percepatan PSR GAPKI. Di dalam satgas itu, seluruh cabang GAPKI terlibat dan diwajibkan melakukan assesment dan pemetaan potensi lahan dan petani PSR di sekitar perkebunan anggota GAPKI.

"Para anggota GAPKI juga diwajibkan memberikan informasi terkini terkait perkembangan penanaman sawit dalam PSR. Kami juga melakukan kerja sama dengan asosiasi petani atau pekebun dalam percepatan PSR," ujar Mukti. 


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :