https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Promovenda Mutiara Panjaitan: BOSI, Solusi Atasi Persoalan Hukum Industri Sawit

Promovenda Mutiara Panjaitan: BOSI, Solusi Atasi Persoalan Hukum Industri Sawit

Mutiara Panjaitan (berkebaya) usai memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum FHUI. Foto: Taufik Alwie


 

Depok, elaeis.co - Berangkat dari keprihatinannya terhadap persoalan kebijakan yang mendera industri kelapa sawit, ditambah kegigihan melakukan serangkaian penelitian, plus riset mendalam, jadilah sebuah disertasi berkelas.

Judulnya: “Aspek Hukum Investasi Kelapa Sawit: Tantangan dan Optimalisasinya”. Disertasi ini intinya adalah ide cemerlang nan baru  atau novelty mengenai perlunya Badan Otoritas Sawit Indonesia, bisa disingkat BOSI. BOSI dinilai dan diharapkan  mampu menjawab tantangan hukum di sektor kelapa sawit.

Disertasi sangat menarik dan penting inilah yang dipertahankan promovenda bernama Mutiara Panjaitan pada Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024.

Setidaknya ada delapan profesor dan doktor yang mengujinya. Mereka adalah Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H. (promotor), Dr. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si. (ko-romotor), Prof. Dr. Yetty Komalasari Dewi, S.H., MLI., dan Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. (IPB Bogor).

Lalu ada Dr. Sadino, S.H., M.H. (mewakili praktisi hukum kehutanan/perkebunan dan juga korporasi), Dr. Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H., Dr. Gulat Medali Emas Manurung, MP., C.APO., C.IMA (mewakili asosiasi petani sawit), dan Dr. Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H.

Sidang promosi doktor yang dipimpin Dekan Fakultas Hukum UI, Dr. Parulian Paidi Aritonang, S.H., LL.M.,MPP.  ini juga dihadiri sejumlah tamu penting, di antarnya,  Mantan Menteri Pertanian Prof. Bungaran Saragih.

Ada pula Direktur Tanaman Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian, Ardi Praptono; Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia, Sahat M. Sinaga; dan Sekjen APKASINO, Rino Afrino. 

Dalam sidang itu, Muti memaparkan ringkasan disertasinya dengan kalimat-kalimat bernas, lugas, dan terstruktur. Merespon pertanyaan-pertanyaan berat dari para penguji, perempuan yang akrab disapa Muti ini juga tangkas memberikan jawaban, yang disampaikannya dengan nada santun.

Para penguji merasa puas dengan jawaban Muti. Mereka juga memuji inovasi Muti dalam menjawab tantangan hukum di sektor kelapa sawit. Mereka menilai BOSI diharapkan dapat meningkatkan daya saing kelapa sawit Indonesia di pasar global, sekaligus menyelesaikan permasalahan lingkungan dan sosial.

Hasilnya, setelah tim penguji melakukan rapat tertutup, Mutiara dinyatakan lulus dengan predikat Sangat Memuaskan.

“Sebetulnya hampir Cumlaude. Tapi karena terbentur masalah waktu, kelebihan satu semester, maka diberikan predikat sangat memuaskan,” ucap Ketua Sidang, disambut tepuk tangan hadirin. Muti pun tampak menangis haru.

 

Irisan persoalan yang sama

Keseriusan dan kegigihan Muti dalam menyusun disertasi ini sudah tergambar dari langkah-langkah yang ditempuhnya. Lebih dari setahun ia melakukan rangkaian penelitian, seperti mewawancarai stakeholder sawit (korporasi dan petani sawit).

Anak kedua dari empat bersaudara pasangan Batara Manuasa Panjaitan (alm.) dan Rukia Napitupulu ini juga getol mengikuti berbagai seminar/FGD, studi literatur, dan merangkai ratusan regulasi terkait sawit.

Karena itulah, saat memaparkan ringkasan disertasinya pada Sidang Terbuka Promosi Doktor tersebut, Muti enteng saja melakoninya.

Ia menguraikan, ada dua pelaku usaha kelapa sawit, yaitu korporasi dan petani sawit. Namun secara umum jenis usaha sawit ini dibagi dalam dua sektor, yaitu sektor hulu (perkebunan) dan sektor hilir (proses pengolahan sampai ke turunannya).

Persoalan yang dihadapi kedua pelaku usaha sawit ini memiliki problem masing-masing, namun ditemukan irisan persoalan yang sama.

“Nah, irisan persoalan yang saling terhubung kepada dua pelaku usaha sawit ini ada tiga pokok; ketidakpastian legalitas lahan, disharmoni kebijakan antar kementerian dan lembaga yang ada, serta kebijakan internasional,” ia menerangkan.

Muti merinci, tiga irisan persoalan tadi antara lain; pertama, ada 3,3 juta hektare kebun kelapa sawit yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan. Lalu kedua, ada pula 32 kementerian dan kelembagaan yang turut campur dengan sawit. Semuanya saling menonjolkan tarik-menarik kesektoralannya.

"Irisan ketiga adalah terkait kepada kebijakan internasional terkhusus terkait diskriminasi yang berlindung dengan istilah sustainability product," katanya.

Berlarut-larut

Menurut Muti, tiga irisan ini sebenarnya urusan dalam negeri dan wewenang penuh pemerintah, yang selama ini berlarut-larut tidak dituntaskan.

Persoalan legalitas lahan, misalnya, akan berdampak ke produksi menurun karena dua hal. Pertama, karena tidak boleh replanting (hanya satu daur). Kedua, terganggunya iklim usaha dan investasi sehingga tidak optimum melakukan perawatan tanaman secara agronomis.

Dampaknya, devisa akan turun, Pungutan Ekspor turun, program kemandirian energi (biodiesel) pun terancam. Akan terjadinya gejolak sosial dan kamtibmas,  keberlanjutan aspek lingkungan akan terganggu karena implementasi good agricultural practices (GAP) tidak optimum.

Bila diskriminasi terus terbiarkan, akan menjadi penghambat ekspor. Dampaknya, akan terjadi over supply (domestik), harga fluktuatif dan harga TBS petani sawit pun dipastikan akan anjlok.

“Terkait kementerian dan lembaga yang saling tarik-menarik kepentingan sektoral turut membebani industri hulu dan hilir sawit Indonesia,” panjang lebar Muti menjelaskan.

Mirisnya, kebijakan atau regulasi yang terkait sawit, sebentar-sebentar sudah pula berubah. Tak ada kelihatan pertimbangan bahwa investasi kelapa sawit itu sifatnya jangka panjang.

Oleh karenanya, kata Muti, seharusnya dibarengi pula dengan regulasi jangka panjang dengan melibatkan stakeholder sawit dalam perencanaannya, tapi itu tidak terjadi secara paduserasi dari pengamatan penelitian ini.

 

Sebenarnya, kata Muti pula, dari tahun 2010 pemerintah telah berupaya menghadirkan sederet kebijakan untuk menyelesaikan semua persoalan yang ada tadi supaya paduserasi. Bahkan sejumlah peraturan presiden turut mewarnai kebijakan itu.

Tapi sayang, hingga Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang diharapkan bisa menyelamatkan investasi disahkan, persoalan masih tetap saja ruwet, cenderung stagnan.

"UUCK nya punya semangat penyelesaian masalah, tapi tidak turun pada peraturan turunannya. Makanya saya tertarik melakukan penelitian terkait hal tersebut," ujarnya.

Ia menilai, jika dilihat dari produktivitas perkebunan sawit rakyat yang masih rendah, maka seharusnya segera dilakukan replanting melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

“Tapi apa yang terjadi, target PSR setiap tahun rata-rata tidak lebih dari 50%, hal ini dikarenakan tumpang tindihnya regulasi terkait legalitas lahan yang dipersyaratkan pemohon PSR dan banyaknya kementerian dan lembaga yang masing-masingnya memiliki anak persyaratan tersendiri” kata Muti lagi.

Rangkaian panjang penelitian ini telah menghasilkan harapan baru sektor perkebunan sawit Indonesia, yaitu melalui novelty penelitian BOSI tadi. Lembaga ini akan menjadi satu-satunya yang mengurusi sawit, mulai dari hulu sampai hilir, termasuk tentang konsep satu harga minyak sawit melalui Bursa CPO Indonesia, ICDX.

Hal yang paling penting lainnya adalah, terkait ke isu-isu sawit global, nantinya akan terintegrasi di bawah institusi BOSI. Intinya BOSI akan menjadi ‘dirigen’ semua terkait sawit, dalam dan luar negeri.

BOSI akan bersinergi langsung dengan semua stakeholder sawit atau akan menjadi wali data bagi semua pelaku usaha sawit di Indonesia. Dalam perjalanannya juga akan menerapkan mekanisme akuntabilitas dan transparansi serta standar kredibilitas yang tinggi.

Muti sangat yakin BOSI bukan hanya memberi kepastian usaha sektor sawit, tapi juga pemerintah (negara) akan menerima manfaat yang jauh lebih banyak dari saat sekarang ini, terkhusus kepastian data dan pemasukan negara.

Data yang akurat dalam satu institusi ini (BOSI) akan mempermudah negara untuk melakukan perhitungan pemasukan negara secara akurat, yang pasti pemasukan negara akan bertambah karena adanya BOSI ini.

"Tapi lembaga ini baru akan bisa berjalan kalau mendapat dukungan langsung dari Presiden Prabowo. Sebab BOSI diharapkan berada langsung di bawah Presiden," ujar Muti berharap.  

Tak berlebihan sebenarnya bila Muti punya harapan besar Presiden Prabowo segera melirik idenya itu. Sebab, apapun ceritanya, sawit telah menjadi ikon negara sejak lebih dari satu dekade terakhir.

Tak hanya menghidupi lebih dari 20 juta keluarga masyarakat Indonesia dan 16,5 juta pekerja yang menggantungkan ekonomi keluarga dari sektor sawit, tapi juga telah muncul sebagai penyetor devisa terbesar, mencapai USD65 miliar setahun.

Angka ini belum termasuk peran sawit menghemat devisa impor minyak fosil yang diperkirakan lebih dari Rp400 triliun. Dan yang pasti, energi hijau dari kemandirian energi juga akan menurunkan emisi karbon hingga 32 juta ton per tahun.

Tampaknya, BOSI memang patut mendapat dukungan Presiden Prabowo, dan semua pihak terkait.

 

 

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :