Berita / Nusantara /
Program untuk Bantu Petani, Tapi Syaratnya Tak Bisa Dipenuhi
Ilustrasi-perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak. (Foto: Sahril)
Pekanbaru, elaeis.co - Anggota DPRD Riau, Karmila Sari, kembali menyoroti persyaratan yang dikeluarkan kementerian untuk mendapatkan bantuan dari program Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Ada dua syarat yang menjadi sorotan, yaitu harus berada di luar kawasan hutan dan juga bebas dari kawasan lindung gambut.
Ketua Asosiasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE) Riau ini mengaku bahwa persyaratan tersebut tidak akan bisa dipenuhi petani. Pasalnya saat ini banyak lahan petani sawit, khususnya di Riau yang diklaim berada di dalam kawasan.
"Kalau syarat intinya di situ, sama saja bohong kan. Gimana mau mengeluarkan rekomtek kalau sudah pasti itu di kawasan secara maping di Dinas Kehutanan dan KLHK. Kalau aturannya seperti itu, ya tidak akan terlaksana lah," kata Karmila saat berbincang dengan elaeis.co belum lama ini.
Menurutnya, persoalan kebun sawit dalam kawasan ini harus dicari solusinya. Apalagi hampir seluruhnya, sudah menanam sawit di kawasan tersebut lebih dari 5 tahun dan petani tidak mengetahui bahwa itu merupakan kawasan hutan.
"Jadi persoalan ini harus dicari jalan tengah lah. Karena kita harus lihat setiap provinsi punya sumber data, punya potensi. Kalau bikin aturan juga, ada kebijakan-kebijakan yang disesuaikan," ujarnya.
Menurutnya, jika gak ini tidak dicari jalan keluarnya, maka realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan Sarana Prasarana (Sarpras) tidak akan pernah tercapai.
"BPDPKS dituntut untuk memperbanyak replanting dan juga Sarana prasarana. Tapi secara rekomtek, itu tidak bisa dikeluarkan jika masih di kawasan," sebutnya.
Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Provinsi Riau,Vera Virgianti juga mengakui bahwa hal itu merupakan kendala terbesar yang dihadapi Riau dalam mencapai program tersebut.
Bahkan 2022 lalu, menjadi tahun terburuk Riau dengan realisasi PSR dan Sarpras nol. Di mana tidak ada petani yang lolos verifikasi lantaran banyak kebun yang diajukan ternyata berada di dalam kawasan hutan.
"Tahun 2022 ini persyaratannya berganti lagi. Regulasinya Permentan Nomor 3 Tahun 2022. Selain di luar kawasan hutan, ada syarat tambahan yang akan membuat Provinsi Riau semakin sulit mencapai target. Yaitu surat keterangan di luar kawasan lindung gambut," kata Vera dalam diskusi Problematika Perkebunan Sawit Rakyat di Riau, Selasa (27/12).
"Regulasi ini dikeluarkan oleh Direktorat P2KL. Dan itu mereka baru melayani kita di pertengahan tahun. Memang regulasinya sudah keluar di bulan Maret, tapi baru bisa kita implementasikan di bulan Juli kemarin. Karena persyaratan yang baru ini ternyata belum dikoordinasikan dengan baik oleh kementerian terkait," tambahnya.
Vera menjelaskan, Riau akan menjadi daerah yang akan sulit mendapatkan PSR lantaran sebagian besar daratannya merupakan kawasan gambut.
"Sepengatahuan saya, di Indonesia hanya 5 atau 6 provinsi yang ada gambutnya, termasuk Riau. Riau ini hampir 62 persen luas areanya itu gambut. Ada gambut budidaya dan gambut lindung. Dan petanya itu dikeluarkan oleh kementerian, skalanya sangat kecil 1 banding 250.000. itu yang dijadikan dasar," ujarnya.
"Kesulitan kita, ternyata di Riau ini banyak yang masuk di kawasan lindung itu. Jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini. Karena untuk menyatukan itu merupakan kewenangan KLHK," imbuhnya.
Sebenarnya, kata Vera, terkait kawasan gambut ini, Riau memiliki celah untuk melakukan uji terbalik. Artinya melakukan kaji ulang mengenai lahan perkebunan sawit yang ada di kawasan lindung gambut itu.
"Tapi itu SOP-nya belum ada juga. Jadi memang masih jauh untuk kita bisa menyelesaikan persoalan petani kita yang terindikasi di dalam kawasan lindung gambut," kesalnya.
Persyaratan baru kedua yang juga mempersulit petani adalah syarat bebas dari kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan. Di mana kebun yang akan di-replanting itu tidak boleh tumpang tindih dengan HGU.
"Ditambah lagi Kementerian ATR/BPN persyaratan bebas dari HGU. Petani kita rata-rata SHM-nya itu tahun 90-an. Dan itu belum masuk di database BPN, sehingga tidak bisa diterbitkan rekomendasinya. Jadi sekarang petani harus mengurus lagi peta taninya ke BPN agar masuk ke database BPN, dan itu membutuhkan biaya dan waktu juga," jelasnya.







Komentar Via Facebook :