Berita / Nasional /
Prof UGM: Sawit Dikritik Karena Terlalu Kompetitif di Pasar Global
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sco.(Ist)
Jakarta, elaeis.co - Sawit bukan sekadar isu lingkungan. Prof UGM Sri Raharjo menilai kritik global kerap diboncengi persaingan dagang, karena produktivitas sawit tinggi dan harganya jauh lebih kompetitif.
Minyak sawit kerap menjadi sorotan di kancah internasional. Kritik yang dialamatkan mulai dari isu lingkungan, kesehatan, hingga keberlanjutan industri. Namun, menurut Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., sebagian besar sorotan itu tidak bisa dilepaskan dari persaingan dagang global. Ia menyebut, di balik narasi teknis yang kerap diangkat di media, terdapat motif ekonomi yang lebih besar, yakni kompetisi antarnegara dalam memperebutkan pasar minyak nabati dunia.
Prof Sri menjelaskan bahwa minyak sawit memiliki keunggulan produktivitas per hektare yang sangat tinggi dibandingkan tanaman minyak nabati lain seperti kedelai, bunga matahari, atau kanola. Keunggulan ini membuat biaya produksi sawit relatif lebih rendah, sehingga harga crude palm oil (CPO) jauh lebih kompetitif di pasar global. Kondisi tersebut, menurutnya, justru memicu munculnya stigma negatif dari negara-negara pesaing yang selama ini mengandalkan tanaman subtropis.
Ia menambahkan, perbandingan sering kali tidak seimbang karena sawit hanya tumbuh optimal di kawasan tropis, sedangkan kedelai dan tanaman sejenis berkembang baik di wilayah empat musim.
“Idealnya setiap negara mengandalkan komoditas yang memang cocok tumbuh di lahannya masing-masing,” ujarnya.
Meski menyoroti adanya kepentingan dagang yang memboncengi isu sawit, Prof Sri juga tidak menutup mata terhadap kritik lingkungan yang memang memiliki dasar. Ia mengakui bahwa ekspansi perkebunan sawit di masa lalu sempat menimbulkan masalah seperti deforestasi. Karena itu, pemerintah Indonesia kini menerapkan sejumlah kebijakan korektif, antara lain moratorium perluasan lahan sawit dan program peremajaan sawit rakyat agar produktivitas meningkat tanpa menambah bukaan hutan.
Dengan langkah-langkah tersebut, sawit Indonesia diharapkan tetap mampu memenuhi kebutuhan pasar dunia tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan.
Fenomena kampanye “palm oil-free” yang marak di Eropa menjadi contoh nyata bagaimana persepsi publik dapat memengaruhi pasar. Label tersebut mencerminkan kekhawatiran konsumen terhadap dampak lingkungan industri sawit.
Bagi Prof Sri, menghadapi situasi ini Indonesia tidak cukup hanya membantah tuduhan, melainkan harus merespons dengan data. Ia menekankan pentingnya memperbanyak publikasi ilmiah dan laporan transparan tentang praktik baik di perkebunan, efisiensi pengolahan, serta kebijakan pemerintah yang mendukung keberlanjutan.
Informasi yang benar, menurutnya, harus menjangkau pasar global agar stigma negatif tidak terus mendominasi narasi.
Prof Sri juga menegaskan perlunya komunikasi sains yang lebih kuat antara perguruan tinggi, media, dan pemerintah. Sinergi ketiga elemen ini diyakini mampu membangun citra positif sawit Indonesia di mata dunia.
Di tengah gempuran isu perdagangan, publik diingatkan untuk menilai sawit secara proporsional, yakni dengan mengakui masalah yang ada, memperbaiki praktik lapangan, namun tetap menghargai kontribusi ekonominya.
Sawit bukan hanya komoditas ekspor, tetapi juga penopang hidup jutaan keluarga petani di Indonesia. Karena itu, menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan menjadi kunci keberlangsungan sawit ke depan.
Dengan produktivitas yang tinggi, sawit tidak hanya penting untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia, tetapi juga menjadi bahan baku potensial bagi energi terbarukan seperti biofuel.
Potensi ini semakin menegaskan bahwa kritik terhadap sawit tak hanya berakar pada isu lingkungan, melainkan juga karena posisinya yang terlalu kuat dan kompetitif di pasar global.
Bagi Indonesia, tantangan terbesarnya adalah membuktikan bahwa sawit bisa tumbuh berkelanjutan, sekaligus mempertahankan peran strategisnya dalam rantai pasok pangan dan energi dunia.







Komentar Via Facebook :