Berita / Pojok /
Produktivitas Sawit vs Produktivitas Hutan
Hamparan perkebunan kelapa sawit. foto: aziz
Oleh: Sudarsono Soedomo*)
Ketika terjadi mengenai keberadaan sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit, sering kali muncul argumen bahwa luasnya kebun seharusnya ditahan sambil menunggu produktivitasnya meningkat. Logika yang dibangun cukup sederhana: jika produksi per hektar dapat ditingkatkan, maka total produksi yang sama dapat dicapai tanpa memperluas lahan. Investigasinya, tekanan terhadap kawasan hutan dapat dikurangi.
Pada permukaan, argumen ini tampak masuk akal dan bahkan terkesan bijak. Namun, jika dicermati lebih jauh, argumen ini sesungguhnya menyimpan ketimpangan dalam cara kita memperlakukan sektor penggunaan lahan yang berbeda.
Pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa hanya kelapa sawit yang membebankan beban untuk “menunggu” produktivitas sebelum boleh diperluas? Bukankah keadilan menuntut bahwa seluruh sektor yang memanfaatkan ruang --- termasuk kehutanan --- juga berkewajiban meningkatkan produktivitasnya terlebih dahulu sebelum menuntut hak atas lahan?
Selama ini, sektor kehutanan mengelola jutaan hektar kawasan hutan, tetapi kontribusinya terhadap perekonomian nasional, baik dalam bentuk Produk Domestik Bruto (PDB), ekspor, maupun penerimaan negara, jauh lebih kecil dibandingkan sektor kelapa sawit.
Berdasarkan data yang ada, kelapa sawit hanya membutuhkan sekitar 16 juta hektar lahan untuk menghasilkan devisa puluhan miliar dolar per tahun.
Bandingkan dengan luas kawasan hutan produksi yang jauh lebih besar, namun hasilnya jauh di bawahnya. Bukankah ini indikasi bahwa sektor kehutanan justru lebih membutuhkan peningkatan produktivitas?
Jika kehutanan mampu meningkatkan produktivitas hutan tanaman industri atau hutan alam secara signifikan --- misalnya dengan penelitian sektor genetik, intensifikasi silvikultur, atau pemanfaatan lahan hutan secara multiproduk --- maka dapat jadi sebagian besar lahan hutan yang sekarang sudah terancam statusnya dapat dipilih untuk sektor lain yang juga penting secara ekonomi dan sosial.
Tetapi anehnya, diskursus publik justru selalu menempatkan kehutanan pada posisi yang "tak boleh diganggu", seolah-olah efisiensi bukan urusan sektor ini.
Dilarangnya ketidakadilan diskriminasi penggunaan lahan di Indonesia. Sektor sawit, karena keberhasilannya dalam menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi untuk satuan luas, justru menjadi kambing hitam yang dituntut lebih dan lebih lagi.
Sebaliknya, sektor yang selama puluhan tahun menguasai lahan dalam skala luas namun memberikan kontribusi yang relatif kecil, seperti kehutanan, tidak mendapatkan tekanan yang sama untuk berbenah dan meningkatkan produktivitas.
Memang, hutan memiliki fungsi ekologis yang tak ternilai. Namun demikian, klaim ekologi tidak dapat berdampak pada mempertahankan inefisiensi.
Jika hutan memang ingin dilindungi demi jasa lingkungan seperti penyimpan karbon, penyedia udara, atau pelindung keanekaragaman hayati, maka fungsi-fungsi itu juga harus diperhitungkan dan dihargai secara ekonomi.
Bila tidak, maka akan selalu muncul godaan untuk mempertahankan status kawasan semata, tanpa memastikan bahwa kawasan tersebut sungguh-sungguh berfungsi baik secara ekologis maupun ekonomis.
Keadilan ekologis dan ekonomi harus berjalan seiring. Mendorong peningkatan produktivitas di sektor sawit adalah langkah yang baik, tetapi mendiamkan stagnasi produktivitas di sektor kehutanan adalah bentuk standar ganda yang merugikan diskursus pembangunan berkelanjutan.
Kita membutuhkan terhentinya produktivitas di seluruh sektor penggunaan lahan, bukan hanya satu. Jangan
sampai, atas nama konservasi, kita justru mempertahankan ketimpangan dalam cara mengelola ruang kehidupan bangsa ini.
*)Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB University







Komentar Via Facebook :