https://www.elaeis.co

Berita / Sumatera /

Produksi TBS dan Minat Petani Sawit Ikut PSR Terdampak Harga Pupuk

Produksi TBS dan Minat Petani Sawit Ikut PSR Terdampak Harga Pupuk

Ilustrasi. foto: MC Abdya


Bengkulu, elaeis.co - Berdasarkan pantauan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Bengkulu, rata-rata petani di daerah itu sudah lebih 8 bulan tidak memupuk tanaman sawitnya. Ini menyusul melonjaknya harga pupuk kimia sehingga petani kelapa sawit di Bengkulu kesulitan membeli pupuk.

Harga pupuk jenis KCL, misalnya, di Bengkulu saat ini sudah mencapai Rp 650 ribu per setengah kwintal. Padahal sebelumnya harga pupuk KCL hanya Rp 250 ribu per setengah kwintal. 

"Petani kelapa sawit tidak boleh membeli pupuk subsidi, sementara harga pupuk kimia mahal. Kalau harganya di atas Rp 500 ribu per setengah kwintal, petani sawit di Bengkulu tidak mampu membelinya. Ini yang membuat petani kelapa sawit sulit memupuk kebunnya," kata Kepala DTPHP Provinsi Bengkulu, Rosmala Dewi, Senin (31/7).

Dampak dari kurangnya pemupukan adalah turunnya produksi buah kelapa sawit. Menurutnya, hasil panen dari kebun kelapa sawit seluas 1 hektar hanya sekitar 550 kilogram. Padahal kalau dipupuk paling tidak mencapai 800 kilogram per hektar. "Susutnya lumayan signifikan," ujarnya.

Menurutnya, petani sawit di Bengkulu selama ini terlalu bergantung pada pupuk subsidi. "Sangat sulit mengubah pola pikir petani untuk mandiri, selalu berharap subsidi," tutupnya.

Selain berdampak terhadap turunnya produksi, lonjakan harga pupuk kimia juga mengganggu Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di Bengkulu. "Tingginya harga pupuk nonsubsidi menyebabkan peserta program PSR di Bengkulu menderita," sebutnya.

Menurutnya, kebutuhan dana perawatan per hektar kebun replanting saat ini meningkat drastis menjadi di atas Rp 1 juta per bulan. "Padahal dana hibah PSR hanya sebesar Rp 30 juta per hektare sampai tanaman menghasilkan," katanya.

"Tingginya harga pupuk tidak bisa ditutupi dari dana PSR. Yang Rp 30 juta itu sudah terkunci dengan rencana anggaran belanja (RAB) yang digunakan untuk mendukung kegiatan pembangunan kebun dari P0 sampai P1," imbuhnya.

Masalah ini jugalah yang membuat banyak petani kelapa sawit di Bengkulu berpikir ulang melanjutkan proses pengajuan PSR. "Sebenarnya untuk menutupi kekurangan dana PSR, petani banyak mengambil KUR dan mengajukan pinjaman ke bank. Tapi kenaikan harga pupuk yang mencapai 100% tak urung membuat petani ragu ikut PSR," tuturnya.

"Untuk kondisi sekarang, dana PSR idealnya sebesar Rp 55 juta per hektare dari P0 sampai P3. Alokasi biaya pemupukan sekitar 35,9%. Sudah termasuk upah dan pengadaan pupuk dolomit, borate, RP, Urea, dan MOP," tambahnya.

Petani kelapa sawit yang saat ini mengikuti program PSR terpaksa mengurangi takaran pupuk. "RAB disusun dengan harga pupuk lama, tidak sesuai dengan kondisi terkini. Dosis terpaksa dikurangi meskipun itu berat bagi petani," tandasnya.
 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :