Berita / Bisnis /
POME Resmi Menjadi Bahan Baku SAF, Indonesia Masuk Era Baru Energi Aviasi
Diskusi membahas SAF menampilkan Dimas H. Pamungkas (kiri), Wendy Aritenang, dan M. Farras Wibisono, Foto: Taufik Alwie
Jakarta, elaeis.co -- Indonesia resmi memasuki babak baru energi terbarukan di bidang aviasi. Akhir November lalu, International Civil Aviation Organization (ICAO) mengesahkan limbah cair kelapa sawit atau Palm Oil Mill Effluent (POME) sebagai bahan baku berstandar internasional untuk Sustainable Aviation Fuel (SAF). Keputusan ini menempatkan POME—yang selama ini dianggap limbah tanpa nilai—sebagai komoditas strategis, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai pemain penting dalam pasar bahan bakar pesawat rendah karbon.
Kabar menggembirakan ini disampaikan kepada awak media di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Kamis siang, 11 Desember 2025. Dalam konferensi pers yang diselenggarakan Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) tersebut hadir perwakilan Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, serta tim teknis dari IPOSS dan Tripatra Engineering yang selama ini terlibat dalam proses pengusulan POME ke ICAO.
Dalam sambutannya, Dewan Pengawas IPOSS, Sofyan Djalil, menyatakan sangat gembira dengan keputusan ICAO tersebut. Ia menilai, Indonesia sebagai negara penghasil sawit terbesar nantinya dapat turut berperan penting dalam menekan emisi karbon di bidang aviasi, sekaligus menjadi pemasok SAF global.
Karena itu ia kembali mengingatkan agar keberlanjutan sawit dengan berbagai keunggulannya tersebut dapat terus terjaga. “Jangan sampai bernasib seperti rempah, gula, teh, dan kopi yang dulu sempat berjaya, mengekspor, tapi kini kita mengimpornya,” kata Sofyan Djalil.
Tak sekadar memberikan keterangan pers, IPOSS juga menggelar diskusi menampilkan pembicara Dimas H. Pamungkas dari IPOSS, dan M. Farras Wibisono dari Tripatra. Diskusi berlangsung menarik, dipandu Wendy Aritenang, Wakil Indonesia untuk SCSEG (Sustainable Certification Scheme Evaluation Group) – CAEP – ACAO.
Sofyan Djalil
Net zero emission 2050
Langkah strategis Indonesia menjadikan POME sebagai bahan baku SAF tak lepas dari ketetapan ICAO yang mematok net zero emission 2050 sebagai komitmen global dengan pendekatan fleksibel sesuai kapasitas negara. Salah satu yang didorong untuk penerbangan yang lebih bersih tersebut adalah menjadikan SAF sebagai instrumen kunci mitigasi.
Hal ini mengingat pertumbuhan penumpang pesawat terbang secara global diproyeksikan akan melebihi 8 miliar penumpang dalam setahun pada tahun 2041, yang otomatis akan meningkatkan emisi aviasi secara signifikan. Tanpa adanya intervensi, maka emisi aviasi itu diperkirakan dapat mencapai 21,2 gigaton CO2 pada tahun 2050.
Indonesia sebagai warga global diproyeksikan akan memiliki 390 juta penumpang dalam setahun pada 2037, harus menyesuaikan diri dengan rezim aviasi yang berkelanjutan. Tidak mengherankan kalau Indonesia kemudian mengikatkan diri pada berbagai komitmen iklim seperti Paris Agreement, ICAO CORSIA dan Net Zero 2050. Bahkan Indonesia bersiap untuk mendorong mandatori 5% SAF pada 2030.
Keberanian tersebut dilatarbelakangi antara lain adanya kesadaran bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan industri SAF nasional dan menjadi pemain global melalui kolaborasi pemerintah-pelaku industri.
Instrumen kunci
Dalam kerangka inilah, SAF menjadi instrumen kunci dengan kontribusi dekarbonisasi terbesar—mencapai 65% dari seluruh upaya penurunan emisi di sektor penerbangan. Karena itu, permintaan global akan SAF terus meningkat. World Economic Forum mencatat, permintaan SAF global bahkan diprediksi melonjak hingga 515 juta ton pada tahun 2050, naik hampir 20 kali lipat dari level saat ini.
Lonjakan ini terjadi di tengah kelangkaan feedstock global seperti UCO dan limbah minyak lain. Di sinilah posisi Indonesia menjadi sangat strategis. “Dengan nilai emisi yang resmi diakui ICAO, POME menempatkan Indonesia dalam posisi strategis untuk memenuhi permintaan SAF global yang semakin besar,” ujar Dimas H. Pamungkas.
Potensi POME memang luar biasa besar. Dari total 256 juta ton TBS yang diolah nasional, estimasi konservatif menunjukkan potensi 2,5 juta ton POME oil bisa dipulihkan setiap tahun. Jika dikonversi menjadi SAF jalur HEFA, Indonesia dapat memproduksi 2–3 juta kiloliter SAF per tahun—cukup untuk memasok kebutuhan domestik sekaligus masuk pasar internasional.
Tripatra Engineering bahkan menghitung, bila seluruh feedstock eligible ICAO (POME, PFAD, UCO, EFB oil, residu padat sawit) dimaksimalkan, Indonesia berpotensi memproduksi hingga 5 juta ton SAF per tahun di berbagai jalur. Yaitu HEFA (Hydroprocessed Esters and Fatty Acids), ATJ (Alcochol to Jet), dan GFT (Gasification Fischer-Tropsch). “Jalur HEFA menjadi yang paling siap karena kematangan teknologi dan ketersediaan feedstock,” ujar M. Farras Wibisono.
Perjuangan setahun meraih sertifikasi
Indonesia memang merupakan negara dengan potensi bahan baku SAF yang luar biasa. Sayangnya, sampai pertengahan tahun lalu belum pernah menginisiasi sumber daya tersebut untuk dijadikan SAF. Minyak jelantah dan kelapa tidak standar yang telah diakui sebagai bahan SAF oleh ICAO, justru diajukan oleh negara lain.
Untuk itu, sejak akhir tahun lalu, Indonesia concern melakukan upaya sertifikasi limbah cair sawit (POME) yang sebelumnya banyak terbuang percuma, untuk diproses menjadi SAF.
Pemerintah dalam hal ini Kemenhub dan Kemenlu, didukung berbagai pihak khususnya IPOSS dan Tripatra, mulai bergerak mengusulkan POME menjadi bahan baku SAF pada lembaga ICAO, November 2024.
Keikutsertaan IPOSS sebagai think tank kebijakan sawit adalah untuk mengawal dan mensinkronkan langkah para pihak agar seirama baik dalam pembuktian, melakukan perhitungan hingga negosiasi tingkat teknis. IPOSS juga terlibat dalam perdebatan perhitungan baik yang dilakukan di Eropa, Amerika Latin maupun di markas ICAO. Sedangkan Tripatra adalah pihak yang ikut menghitung nilai default LCA hingga rencana investasi untuk pertama kali dalam pembuatan SAF berbasis POME.
Persis setahun proses berjalan, akhir November 2025 POME resmi disetujui sebagai bahan SAF dengan memasukan Nilai default LCA dari POME pada ICAO Document “CORSIA Default Life Cycle Emissions Values for CORSIA Eligible Fuels”, dengan nilai default LCA sebesar 18.1 gCO2e/MJ. Nilai tersebut sangat rendah, yakni 79,6% di bawah emisi bahan bakar avtur.
Dengan keputusan ini, POME secara resmi dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan SAF. Secara hukum internasional, Indonesia kini memiliki peluang untuk menjadi produsen SAF dari POME yang dibutuhkan dunia dalam beberapa dekade mendatang. Limbah sawit POME kini bukan sekadar waste, tetapi diakui sebagai bahan bakar aviasi rendah karbon bersertifikat internasional.
Adapun dampak positif bagi industri aviasi, antara lain, mendorong implementasi mandatori SAF bagi industri penerbangan -- internasional dan domestic -- dengan landasan regulasi untuk penggunaan SAF yang antara lain berbasis POME.
Dengan potensi seluruh bahan baku yang sudah diakui ICAO (POME, UCO, PFAD), Indonesia berpotensi menyuplai 2-3 juta kiloliter SAF, sehingga perlu didorong arah implementasi SAF menuju mandatori sebesar 5% pada tahun 2030 atau lebih cepat lagi untuk penerbangan nasional dan internasional.
Keberhasilan ini mempermudah claiming emission reduction oleh maskapai di bawah skema CORSIA karena nilai sudah default-approved. Keberhasilan ini juga membuka babak baru industri sawit Indonesia. Limbah yang dahulu dianggap masalah, kini berubah menjadi komoditas strategis di tengah tuntutan global atas energi hijau. Dengan pengakuan ICAO, Indonesia bukan hanya mendukung transisi energi, tetapi juga menempatkan diri sebagai leader dalam teknologi bahan bakar pesawat berkelanjutan.-







Komentar Via Facebook :