Berita / Nusantara /
Pokoknya Gila-Gilaan, Tuan...
Anak-anak Papua di kebun yang baru saja menjalani program PSR. Program PSR di kebun ini terancam gagal lantaran tingginya harga pupuk. foto: ist
Jakarta, elaeis.co � Melambungnya harga pupuk telah membikin biaya produksi Tandan Buah Segar (TBS) petani mendekati angka Rp1.850 per kilogram, padahal sebelumnya ongkos produksi itu masih di angka Rp1.150 per kilogram.�
�Dengan kondisi kayak begini, sia-sia jadinya upaya Presiden Jokowi menjaga harga TBS dan Crude Palm Oil (CPO) lewat optimalisasi serapan dan hilirisasi dalam negeri. Padahal ini upaya menuju 0% ekspor CPO,� kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Dr. Gulat Medali Emas Manurung, kepada elaeis.co, tadi siang.�
Baca juga: Saat Soko Guru Dicekik Pupuk
Dan gara-gara melambung tingginya harga pupuk dan saprodi lainnya itu kata ayah dua anak ini, petani sawit yang menguasai 42% dari 16,38 juta hektar kebun kelapa sawit di Indonesia, tidak merasakan kenaikan harga TBS saat ini.�
�Yang kaya raya itu ya produsen pupuk saja. Sementara kami pekebun sawit tidak pernah memakai pupuk subsidi, kami lebih mengutamakan dan mempersilakan saudara kami petani tanaman pangan dan hortikultura yang mempergunakan itu,� ujarnya.
Tadinya kata Gulat, tingginya harga TBS menjadi memomen bagi petani untuk mere-evaluasi dosis pemupukan. Soalnya selama ini petani sawit cuma memakai 50% dari dosis anjuran.�
�Tapi gimana mau mere-evaluasi, kami enggak mampu lagi membeli pupuk yang harganya gila-gilaan itu, belum lagi saprodi lainnya. Ahh�, udah macam kena keroyok aja kami, gila-gilaan,� katanya.
Gulat berharap lintas stakeholder segera turun tangan mengatasi persoalan ini. Sebab kalau dibiarkan, dampaknya akan kemana-mana.�
�Kalau tak memupuk, tak mengendalikan gulma lantaran semuanya mahal, imbasnya hasil panen kebun petani akan turun satu tahun ke depan. Kalau sudah seperti ini, tak hanya petani yang rugi, tapi semua bakal terdampak,� Gulat yakin. �
Turunnya produksi akan berdampak pada perolehan Bea Keluar (BK), Pungutan Ekspor (PE), Pajak dalam negeri sebagai endproduct dan berdampak pula terhadap pengangguran dan Nilai Tukar Petani (NTP). �Multiplayer effect nya luar biasa,� Gulat mengingatkan.
Terhadap program strategis Presiden seperti Program Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) juga akan berdampak. PSR yang sedang berjalan dipastikan terganggu lantaran tingginya harga pupuk dan saprodi lainnya.�
Sebab, dana hibah PSR sebesar Rp 30 juta per hektar itu sudah terkunci dengan RAB yang digunakan untuk mendukung kegiatan pembangunan kebun dari P0-P3. Tingginya harga pupuk ini dipastikan tidak akan bisa ditutupi oleh duit PSR itu.�
�Alhasil, kondisi ini akan mengacaukan target PSR dan utang petani di Bank akan bertambah untuk menomboki kekurangan dari Rp30 juta per hektar ha tadi. Sudahlah terseok-seok mencapai target, dihantam pula oleh badai harga saprodi,� kata lelaki yang juga Ketua Bravo-5 Riau (Relawan Jokowi-Amin) itu.
Dan belakangan, Gulat makin merasa miris lantaran banyak petani melapor kalau mereka ragu-ragu melanjutkan proses pengajuan PSR. Mereka tak mau disalahkan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) kelak ketika PSR nya gagal lantaran RAB sudah tak sesuai lagi.�
�







Komentar Via Facebook :