Berita / Nusantara /
Petani Swadaya Menderita, Wagub Bengkulu Minta Cabut Permentan 01/2018
Wagub Bengkulu Rosjonsyah bersama Ketua Umum APKASINDO Gulat Manurung membuka FGD 'Penguatan Kelembagaan dan Kemitraan Kelapa Sawit Rakyat Bengkulu', kemarin. (Ist)
Bengkulu, elaeis.co - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu akan mengajukan permintaan pencabutan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 01/Permentan/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Perkebunan.
Hal ini dilakukan berdasarkan desakan sejumlah pabrik kelapa sawit di daerah itu. Sebab, Permentan itu hanya mengatur harga TBS kelapa sawit untuk petani mitra, bukan petani mandiri.
"Saya akan koordinasikan dengan Gubernur untuk menyurati kementerian terkait atas Permentan Nomor 01 itu," kata Wakil Gubernur (Wagub) Bengkulu, Rosjonsyah usai menghadiri pengukuhan pengurus Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Provinsi Bengkulu, kemarin.
Dijelaskannya, Permentan Nomor 01 tentang penetapan harga TBS kelapa sawit itu hanya berdasarkan kemitraan saja. Sementara di Provinsi Bengkulu banyak petani mandiri. Sehingga harga TBS ditingkat petani mandiri terus anjlok tidak sesuai dengan kesepakatan harga yang telah diputuskan bersama Pemprov.
"Di Bengkulu ini banyak petani mandiri. Kasihan kalau kayak gini. Ini secepatnya disurati. Nanti gubernur yang memberikan surat agar DMO dicabut, sehingga harga sawit bisa setara," kata dia.
Tidak hanya itu, Rosjonsyah juga menegaskan potensi produksi kelapa sawit di Provinsi Bengkulu. Potensi CPO-nya mencapai 1.300 ribu ton pertahun. Namun yang keluar melalui Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu hanya sekitar 300 ribu ton. Selebihnya keluar melalui pelabuhan provinsi lain.
"Pelabuhan kita masih berada di kelas III. Dari sekian ribu ton CPO itu, hanya 300 ton lewat pelabuhan Bengkulu. Selebihnya mengalir ke daerah lain PAD-nya," tutur Rosjonsyah.
Sementara itu, Ketua Umum APKASINDO Gulat Manurung mengatakan, persoalan harga kelapa sawit ini telah menjadi masalah global. Perjuangan untuk menaikkan harga tidak bisa hanya dilakukan masing-masing daerah. Namun harus bersama-sama menghadap Presiden untuk mencabut Permentan Nomor 01 tersebut.
"Solusinya harus mencabut DPO dan DMO itu. Kalau bisa terlaksana, dalam waktu dekat harga di pabrik bisa menyesuaikan harga yang ditetapkan Pemprov. Begitu dicabut tidak sekaligus naik, ada prosesnya. Namun harga tetap bakal naik," kata Gulat.
Gulat mengaku, dampak Permentan Nomor 01 itu kontrak ekspor CPO tidak berjalan. Sehingga penjualan ke luar negeri juga terhambat.
"Kalau kayak gitu, tentu dampaknya harga sawit tingkat petani juga ikut berimbas," kata dia.
Sejauh ini, lanjut Gulat, penetapan kesepakatan harga tingkat provinsi memang belum efektif berjalan. Sebab, perusahaan pabrik kelapa sawit mengklaim harga TBS ditetapkan oleh masing-masing perusahaan.
"Karena nggak ada aturannya. Yang diatur itu untuk petani mitra saja. Sekarang ini 7 persen petani mitra itu nggak jelas juga. Ada atau tidak petani itu, juga nggak jelas," ungkapnya.
Gulat mengatakan, pihaknya telah melakukan berbagai upaya agar pabrik sawit mengikuti harga kesepakatan. Namun banyak pabrik enggan mengikutinya. Meski teguran telah beberapa kali diberikan.
"Kita nggak tahu mekanisme perusahaan dalam menetapkan harga. Hari ini ditetapkan segini, besok nggak tahu apa masih sigitu. Solusinya hanya satu, yakni regulasinya harus direvisi," pungkasnya.







Komentar Via Facebook :