Berita / Nusantara /
Petani Sawit Terima Kebijakan Pemerintah Naikkan PPN Jadi 12 Persen, Asalkan...
Ketua Umum Apkasindo, Dr Gulat ME Manurung. foto: ist.
Bandung, elaeis.co – Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai Januari 2025 memicu polemik di tengah masyarakat. Banyak yang menolak rencana itu karena daya beli masyarakat akan semakin lemah.
Tapi tidak sedikit yang menerima keputusan pemerintah itu. Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Dr Gulat ME Manurung, menyatakan mendukung kebijakan ini dengan catatan pemerintah harus membuat terobosan untuk melindungi petani kecil.
“Kenaikan PPN ini memang diperlukan untuk membiayai pembangunan, khususnya infrastruktur dan pengembangan SDM. Tapi, penting untuk memahami bahwa petani sawit sering kali dituduh tidak membayar PPN. Padahal struktur rantai pasarnya yang kompleks membuat petani sawit menanggung beban pajak ini secara tidak langsung,” ujar Gulat di sela acara Most Popular Leader Excellent Award 2024 di Bandung, Jumat (22/11).
Menurutnya, pemerintah perlu mengupayakan strategi agar petani kecil bisa mendapatkan restitusi PPN atas penjualan tandan buah segar (TBS) sawit. Saat ini, hanya petani yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan omzet tahunan lebih dari Rp 4,8 miliar yang berhak mengajukan restitusi pajak.
“Kenyataannya, omzet petani kecil hanya berkisar Rp 25 juta hingga Rp 45 juta per tahun, jauh dari syarat minimal PKP. Akibatnya, beban PPN pada penjualan TBS maupun pembelian sarana produksi (saprodi) menjadi tanggungan petani secara penuh,” jelasnya.
Gulat juga menyoroti dampak penerapan PPN sepanjang rantai produksi kelapa sawit. Mulai dari industri hilir hingga produsen crude palm oil (CPO), setiap transaksi dikenai PPN yang pada akhirnya dibebankan kepada TBS petani.
“Petani sawit tidak memiliki daya untuk merestitusi PPN, sementara perusahaan besar seperti produsen biodiesel, minyak goreng, dan oleokimia memiliki akses untuk mengembalikan pajak masukan mereka,” tambahnya.
Dia juga khawatir kenaikan PPN akan mengurangi harga beli TBS oleh pabrik kelapa sawit (PKS) yang secara langsung menekan pendapatan petani. Saat ini, harga TBS petani swadaya di Sumatra dan Kalimantan berkisar Rp3.200 per kilogram, dengan biaya produksi sekitar Rp2.100. Artinya, margin petani hanya Rp1.100 per kilogram.
“Jika harga TBS turun menjadi Rp2.400 per kilogram, pendapatan petani bisa merosot menjadi Rp300 per kilogram. Dengan rata-rata kepemilikan lahan 4,2 hektare, penghasilan petani hanya sekitar Rp1 juta per bulan. Angka ini jauh di bawah upah minimum regional (UMR) Riau,” paparnya.
Gulat menegaskan, kenaikan PPN hanya dapat diterima jika pemerintah menjaga harga TBS di atas Rp3.000–Rp3.500 per kilogram. Selain itu, diperlukan strategi untuk meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat agar beban PPN dapat diimbangi dengan hasil panen yang lebih tinggi.
“Kesejahteraan petani sawit sangat sejalan dengan poin ke enam Asta Cita Presiden Prabowo, yaitu membangun dari desa untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan. Ini harus menjadi panduan bagi seluruh kabinet,” tegasnya.
Dengan harga TBS yang stabil dan produktivitas meningkat, petani sawit diyakini dapat bertahan menghadapi kenaikan PPN.







Komentar Via Facebook :