https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Petani Sawit Swadaya Jadi 'Anak Tiri", Rp100 Miliar Rugi Saban Hari

Petani Sawit Swadaya Jadi

Seorang petani kelapa sawit swadaya di Kalimantan Barat sedang membongkar TBS nya di salah satu PKS yang ada di sana. foto: aziz


Jakarta, elaeis.co - Tak ada yang memungkiri kalau kelapa sawit, sudah lebih dari 4 generasi bercokol di Indonesia. Itu berarti sudah lebih dari 100 tahun kalau satu generasi itu dipatok 25 tahun. 

Dan tak ada pula yang menyangka kalau tanaman kelapa sawit ini ternyata menjelma menjadi industri raksasa yang bisa menggelontorkan devisa hingga USD35,53 miliar pada tahun lalu. 

Lantaran sudah jadi industri, pemerintah membikin aturan main tata niaga kelapa sawit. Yang terbaru itu lahir pada 2 Januari empat tahun lalu. 

Namanya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 tahun 2018 Tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. 

Konon sedari lahir, Permentan ini sudah memicu kontroversi, tapi saat itu petani swadaya belum terlalu merecoki isi aturan main yang diteken oleh Menteri Pertanian di masa Amran Sulaiman itu. 

Hanya saja delapan bulan belakangan, petani swadaya semakin sadar kalau aturan main itu ternyata sudah memperlakukan mereka kayak ‘mentimun bungkuk’; ada tapi tak dianggap. 

Tata niaga yang dibikin rupanya hanya berlaku bagi petani plasma. Tengoklah, di masing-masing provinsi yang ada Tim Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa sawit, harga yang dihasilkan selalu dibilang; hanya berlaku bagi petani plasma.

Kenyataan inilah yang membikin para petani swadaya pitam. Mereka tersadar bahwa Permentan itu cuma melindungi “anak-anak” korporasi yang notabene luas kebunnya cuma sekitar 7% dari total 6,8 juta hektar kebun kelapa sawit petani di Indonesia. 
       
"Di daerah kami sangat kental perbedaan harga TBS Kelapa Sawit petani mitra dan swadaya. Harga TBS petani swadaya bisa mencapai 30-50% di bawah harga penetapan yang dibikin setiap bulan," rutuk Albert Yoku, salah seorang petani kelapa sawit di Papua. 

Yang membikin Yoku bertanya-tanya, kok negara cuma mikirkan petani plasma yang di kampungnya cuma 1-2% dari total petani swadaya. 

“Apakah kebun sawit petani swadaya ini dianggap kebun liar yang tumbuh sendiri dan tak diurus makanya dibedakan dengan kebun petani bermitra? Kami ini mengeluarkan modal lho, perjuangan kami membuat kebun kami seperti sekarang, sangat panjang," ujarnya.

 

Yoku makin merasa miris setelah menengok ada kesan kalau Kementan sudah berubah jadi juru bicara PKS lewat dalil-dalil Permentan 1 tahun 2018 itu. "Kalau hanya PKS yang membikin perbedaan antara petani bermitra dan swadaya, itu urusan PKS lah, tapi ini enggak," Yoku jengkel. 

Petani kelapa sawit asal Sulawesi Barat, Andi Kasruddin Raja Muda, malah mengaku sempat adu jotos di forum penetapan harga di daerahnya lantaran harga yang dihasilkan tim dibilang cuma berlaku untuk petani bermitra. "Emosi saya mendengar itu,” katanya. 

Jengkel Andi makin naik ke ubun-ubun setelah di sejumlah media dia membaca, ada seorang profesor dari Medan Sumatera Utara (Sumut) bilang kalau Permentan itu sudah sempurna, tak perlu direvisi. 

"Mestinya guru besar ini benar-benar menengok dan memahami dinamika petani kelapa sawit 10 tahun belakangan. Saya menghormati beliau, tapi tidak dengan caranya yang ngotot bilang Permentan itu tak boleh dirubah. Cuma Kitab Suci yang tak boleh direvisi,” tegasnya. 

Cerita Akhmad Indradi, petani asal Kalimantan Timur juga tak mengenakkan. "Sebetulnya kami sudah muak dengan ketidakadilan selama ini, lantaran itu, saya minta jangan ada yang merasa paling benarlah," katanya. 

Lelaki ini kemudian mengajak semua pihak untuk mengamati situasi di lapangan. "Betapa kejamnya Permentan ini. Kami petani diwajibkan bermitra, tapi korporasi tidak. Maka tak aneh kalau korporasi selalu mengelak dan menolak bermitra dengan kami meski TBS kami sudah bagus-bagus. ya bagus-baguslah lantaran kami sudah pakai bibit hybrid,” katanya. 

Sudah bisa ditebak kata Indradi kenapa PKS menolak bermitra. Sebab kalau bermitra, untung PKS akan berkurang lantaran PKS akan wajib membeli TBS petani dengan harga Disbun, katakanlah harga Disbun itu Rp1.950/kg. Tapi kalau tak bermitra, PKS cukup membeli dengan harga Rp1.200-1.600/kg. Sebab selisi harga petani mitra dan swadaya dibikin sekitar Rp500/kg.

"Lantas apa sanksi yang didapat PKS kalau tak mau bermitra? Jawabnya tak ada. Dampaknya bagi petani kalau tak bermitra? Banyaaak. Harga TBS sudah pasti dibeli dengan harga suka-suka. Potongan timbangan akan sangat tinggi, antara 10-30%. Maka patut saya bilang, ini sudah merampok dan sangat tidak manusiawi,” ujarnya.

Indradi tak mempersoalkan apakah penguatan atau revisi yang akan dilakukan atas permentan itu, yang jelas, ke depan, jangan lagi ada upaya membeda-bedakan petani bermitra dan tidak bermitra, "Itu roh permasalahannya,” pinta Indradi.

Kalau bagi Amir Arifin Harahap, munculnya permintaan agar Permentan 1 tahun 2018 itu direvisi menjadi bukti keberhasilan Kementan. "Itu pertanda Kementan berhasil membangun SDM petani sawit," kata Ketua Umum Forum Mahasiswa Sawit (Formasi) Indonesia ini. 

Kalau kemudian Kementan ngotot dan selalu memakai dalil seorang guru besar dari Medan itu, "Maka kami Formasi Indonesia patut menduga bahwa antara Kementan dan guru besar itu ada apa-apanya dengan korporasi PKS," tegasnya. 

Kalau petani swadaya tetap “dibelenggu" dengan Permentan itu kata Amir, ratusan miliar rupiah petani swadaya merugi saban hari. 

"Sederhana saja menghitungnya. Kalau di Indonesia ada 1.118 PKS, selisih harga petani swadaya dan yang bermitra Rp500/kg, maka kerugian petani swadaya Rp100 miliar sehari. Untuk itu, mari kita buka mata dan telinga, jangan pakai kaca mata kuda lah,” tegas anak petani sawit ini. 

Pagi ini, Kementerian Pertanian menggelar rapat dengan stakeholder dan organisasi sawit terkait Permentan 1 tahun 2018 itu. Apakah hasilnya akan berpihak kepada petani swadaya? Kita tunggu saja...


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :