Berita / Nasional /
Petani Sawit Rakyat Terjebak Administrasi, STDB Jadi Jurang Ketidakadilan
Jakarta, elaeis.co - Di desa-desa sentra sawit di Sumatra dan Kalimantan, Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan (STDB) menjadi dokumen yang menentukan nasib petani kecil.
Sekilas tampak sepele, hanya beberapa lembar kertas dengan peta dan tanda tangan pejabat. Tapi di balik itu, STDB kini menjadi syarat masuk rantai pasok global dan tiket untuk tetap bertahan di pasar sawit yang menuntut legalitas dan keberlanjutan.
Masalah muncul karena banyak petani rakyat mengelola lahan turun-temurun, bahkan sejak ayah atau kakek mereka membuka kebun. Namun, sebagian lahan mereka tercatat masuk kawasan hutan dalam peta resmi.
Pejabat daerah yang menandatangani STDB menghadapi risiko hukum jika lahan itu ternyata masuk kawasan hutan. Alhasil, penerbitan STDB lamban, terputus-putus, atau bahkan berhenti total. Petani yang ingin legal tetap terjebak birokrasi dan ketidakpastian.
Menurut Sudarsono Soedomo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University, masalah ini bukan soal petani malas atau kurang sosialisasi, tapi ketidakpastian tata ruang dan pengukuhan kawasan hutan yang belum tuntas.
“Banyak petani yang secara fisik mengelola kebun produktif, tapi secara hukum lahan mereka tidak diakui,” ujarnya.
Kondisi ini menimbulkan risiko eksklusi ekonomi, karena petani tanpa STDB sulit menjual TBS ke pabrik atau masuk rantai pasok internasional.
Banyak petani bahkan sudah membayar pajak, mengurus surat jual beli, dan mencatat riwayat panen bertahun-tahun. Namun dokumen itu nyaris tidak bernilai saat kawasan hutan belum dikukuhkan.
Akibatnya, industri besar yang telah memiliki legalitas melaju lebih dulu, sementara petani rakyat tertinggal di belakang, terpinggirkan oleh regulasi yang seharusnya melindungi mereka.
Sudarsono menekankan bahwa STDB seharusnya menjadi pengakuan, bukan penghalang. Keberlanjutan industri sawit tidak akan tercapai jika petani kecil terus diabaikan.
Perlu revisi regulasi, penataan ulang kawasan, dan pengukuhan batas yang transparan serta partisipatif, sebelum STDB bisa berfungsi sesuai tujuan.
Jika masalah ini tidak diselesaikan, STDB justru menjadi jurang ketidakadilan, dokumen yang dimaksudkan untuk menertibkan malah mengunci petani di luar sistem.
Indonesia harus memilih untuk membangun sawit berkelanjutan dengan petani sebagai mitra, atau membiarkan mereka tergelincir di tengah aturan yang kompleks.
Keberlanjutan, pada akhirnya, bukan sekadar standar global, ini soal keadilan bagi petani yang menghidupi industri sawit dari akar rumput hingga pasar dunia.







Komentar Via Facebook :