Berita / Nasional /
Perusahaan Sawit Nekat Babat HGU, DPR: Ini Bukan Bisnis, Ini Perampokan!
Jakarta, elaeis.co - Praktik nakal sejumlah perusahaan sawit kembali menuai sorotan. Dugaan pelanggaran Hak Guna Usaha (HGU) di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, membuat masyarakat marah dan DPR bereaksi keras.
Komisi III DPR RI menilai ulah korporasi yang menanam di luar batas HGU bukan lagi sekadar pelanggaran bisnis, melainkan bentuk perampokan hak rakyat dan negara.
Anggota Komisi III DPR, Soedeson Tandra, menegaskan bahwa kewajiban perusahaan perkebunan sudah jelas diatur dalam undang-undang, termasuk penyerahan 20 persen lahan plasma untuk masyarakat sekitar. Namun kenyataan di lapangan sering berbeda.
“Kalau sampai perusahaan menanam di luar HGU, itu bukan bisnis. Itu perampokan. Mereka merampas hak rakyat, merampas hak negara,” tegas Soedeson dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Jakarta.
Komisi III DPR mendukung langkah Panja Mafia Tanah untuk memanggil jajaran direksi tiga perusahaan sawit yang disebut-sebut bermasalah, yakni PT Prakarsa Tani Sejati (PTS), PT Budidaya Agro Lestari (BAL), dan PT Sandika Nata Palma (SNP).
Selain perusahaan, BPN Kabupaten Ketapang dan Kanwil ATR/BPN Kalbar juga akan dipanggil untuk dimintai pertanggungjawaban.
Soedeson menegaskan, negara tidak boleh kalah oleh korporasi. “Kalau perusahaan asing beroperasi di negeri ini lalu tidak tunduk pada aturan, itu sama saja melecehkan bangsa,” ujarnya.
RDPU tersebut dihadiri perwakilan masyarakat Desa Teluk Bayur, Desa Pelanjau Jaya, dan Desa Suka Karya di Ketapang. Warga mengaku lahan adat mereka telah dikuasai sepihak oleh perusahaan sawit. Bertahun-tahun, mereka harus hidup dalam ketidakpastian, kehilangan akses pada tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan.
DPP Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) menyebut konflik lahan ini telah menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang besar. Lebih dari itu, ruang hidup masyarakat adat ikut terancam oleh ekspansi kebun sawit tanpa izin.
Solidaritas juga datang dari kalangan mahasiswa. Perwakilan Universitas Pamulang, Universitas Muhammadiyah Jakarta, UPN, hingga Universitas Atmajaya hadir mendukung masyarakat Ketapang.
Irwansyah, mahasiswa Unpam, menilai perjuangan warga adalah bentuk nyata pembelaan terhadap konstitusi.
“Rakyat sudah terlalu lama hidup dalam ketidakadilan. Kami hadir agar suara mereka tidak tenggelam,” ucapnya.
Sementara Joxin dari UPN mengingatkan, persoalan lahan ini menyangkut Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bumi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Kalau lahan adat justru dikuasai segelintir oligarki, itu jelas bertentangan dengan konstitusi,” katanya.
Kasus di Ketapang kembali membuka luka lama persoalan agraria di Indonesia. Ketimpangan penguasaan lahan, lemahnya pengawasan, hingga praktik bisnis yang serakah, membuat masyarakat desa terus berada dalam posisi paling rentan.
Perjuangan warga tiga desa itu menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Mereka berharap negara hadir bukan sekadar sebagai penonton, tetapi benar-benar sebagai pelindung rakyat.
Pertanyaannya, apakah pemerintah dan DPR berani menindak tegas para perusahaan nakal itu? Ataukah konflik agraria akan terus menjadi babak berulang yang tak pernah menemukan akhir?






Komentar Via Facebook :