Berita / Nusantara /
Perusahaan Sawit Diminta Lakukan Rekonsiliasi Data IUP dan HGU Secara Periodik
Pj Bupati Kampar Hambali berbicara di Rapat Koordinasi dan Sosialisasi Kebijakan FPKM di Provinsi Riau. foto: Diskominfo Kampar
Pekanbaru, elaeis.co - Pj Bupati Kampar Hambali MH mengikuti Rapat Koordinasi dan Sosialisasi Kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) di Provinsi Riau yang dilaksanakan di Balai Serindit Gubernuran di Pekanbaru.
Rapat ini dipimpin langsung oleh Gubernur Riau Brigjen TNI (Purn) H. Edi Afrizal Natar Nasution dan dihadiri seluruh pimpinan atau perwakilan perusahaan perkebunan sawit di Riau, para bupati/walikota, asosiasi petani sawit, dan para Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten/Kota di Provinsi Riau.
Edi menyebutkan, sampai saat ini masih banyak keluhan masyarakat terkait dengan realisasi kebun plasma. Keluhan itu lalu diekpresikan melalui unjuk rasa karena merasa dizalimi sejak lama dan tak kunjung selesai. Karena itulah pemda mesti hadir menyelesaikan konflik secara adil dan memberikan jalan terbaik untuk keamanan dan kenyamanan perusahan maupun masyarakat.
Saat ini luas lahan sawit di Provinsi Riau lebih kurang 3,387, 206 juta hektar. Sementara perusahaan sawit yang beroperasi di Riau sebanyak 273 perusahaan dengan luas izin usaha perkebunan (IUP) 1,739 juta hektar.
Salah satu kabupaten sentra sawit di Riau adalah Kabupaten Kampar. Menurut Hambali, di Kampar saat ini terdapat sebanyak 61 perusahaan kelapa sawit dengan luas lahan lebih kurang 130.495,40 hektar.
Dari jumlah itu, yang sudah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) sebanyak 29 perusahaaan dengan luas 79.616 hektar. Sedangkan yang belum HGU sebanyak 32 perusahaaan dengan luas 50.879,34 hektar.
"Kita akui bersama saat ini banyak perusahaan yang masih konflik dengan masyarakat terkait HGU. Sebagai contoh, saat ini PKS di Desa Kepau Jaya Siak Hulu yang lahannya masih dikuasi oleh Ayau seluas 781,44 hektar," ungkapnya dalam keterangan resmi Diskominfo Kampar dikutip Minggu (28/1).
Dijelaskannya bahwa kasus lahan sengketa ini masih dalam proses pengadilan. "Lahan itu tidak memiliki IUP," sebutnya.
Berkaca pada kasus tersebut, dia menyarankan agar setiap perusahaan sawit yang ada di Kampar terus melakukan rekonsiliasi data IUP dan HGU secara periodik minimal 6 bulan sekali. "Selanjutnya melakukan pendataan dan penertiban HGU dengan satuan nama perusahaan, bukan jumlah poligan. Kemudian mencocokkan luas IUP dan luas pengurusan HGU yang dimiliki oleh perusahaan," jelasnya.
Dia juga mendorong perusahaan yang status lahannya sudah APL namun belum memiliki HGU agar segera mengurusnya. "Penegakan hukum harus dilakukan kepada perusahaan yang memiliki HGU yang masih dalam kawasan hutan, serta memberikan sanksi kepada perusahaan yang belum memiliki IUP dan HGU, dan belum melakukan fasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementan, Dr Prayudi Syamsuri menambahkan bahwa gangguan atau konflik masyarakat dengan perusahaan umumnya adalah tuntutan FPKM, penjarahan buah, penutupan akses masuk kebun perusahaan, dan pendudukan kebun perusahaan.
"Semua permasalahan itu tak lain dipicu oleh perusahaan yang tidak melakukan kewajiban perizinan usaha perkebunan. Kemudian pemahaman regulasi yang lemah di masyarakat, adanya provokasi dan mobilisasi, serta adanya unsur politis," paparnya.
"Yang mesti harus juga difahami oleh perusahaaan adalah ruang waktu pemberlakuan FPKM sesuai UU Nomor 6/2023 pasal 58 dan PP Nomor 26/2021 pasal 12. Di mana IUP tahun 2021 wajib membangun kebun 20% dari luas IUP yang berasal dari APL di luar HGU dan atau dari pelepasan kawasan hutan," tambahnya.







Komentar Via Facebook :