Berita / Kalimantan /
Perusahaan Sawit di Kalbar Gasak Hak Buruh, Korban Terus Berjatuhan!
 
                Agus Sutomo, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Buruh Teraju. Dok.Istimewa
Kalbar, elaeis.co - Perusahaan sawit di Kalimantan Barat (Kalbar) telah mengasak hak buruh lewat mutasi siluman, intimidasi, dan PHK, membuat korban berjatuhan tanpa perlindungan.
Berikut artikel berita online sepanjang sekitar 500 kata yang sudah dioptimasi SEO dengan mengaitkan langsung dengan judul yang diberikan:
Kalbar kembali menjadi sorotan setelah sejumlah perusahaan kelapa sawit diduga keras menggasak hak buruh secara sistematis.
Dalam situasi yang seharusnya menjadi momentum perlindungan pekerja dan promosi praktik perkebunan sawit berkelanjutan, ironisnya para buruh justru menjadi korban utama.
Serikat buruh yang seharusnya menjadi wadah pembela hak pekerja malah dibubarkan dengan cara-cara licik, mulai dari mutasi mendadak, intimidasi hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa alasan jelas.
Agus Sutomo, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Buruh Teraju, menyatakan bahwa praktik union busting tengah marak terjadi di beberapa perusahaan sawit besar di Kalbar. Salah satu contoh paling mencolok adalah PT Aditya Agroindo Group (AAG), perusahaan pemasok minyak sawit yang aktif mengekspor ke pasar Eropa.
Di sana, pengurus serikat buruh dipindahkan secara mendadak ke posisi yang tidak sesuai dan modus yang dikenal sebagai mutasi siluman. Bahkan mutasi ini sering kali berujung pada pemecatan massal yang tidak transparan.
Yustinus, pengurus serikat buruh di perusahaan tersebut, mengaku mengalami mutasi mendadak setelah memberikan keterangan kepada Pengawas Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar.
"Ini bukan sekadar mutasi biasa, tapi upaya pembungkaman yang sistematis terhadap suara buruh," kata Agus Sutomo. Kondisi ini jelas melanggar hak konstitusional dan undang-undang yang mengatur kebebasan berserikat.
Selain itu, masalah mendasar lain adalah ketidakadilan dalam pengupahan dan jaminan sosial. Banyak pekerja yang sudah bekerja lebih dari lima tahun tetap diklasifikasikan sebagai buruh harian lepas (BHL).
Akibatnya, mereka tidak didaftarkan dalam program BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Kasus tragis muncul saat seorang ibu pekerja BHL harus menanggung sendiri biaya transportasi ke puskesmas saat akan melahirkan, dan bayinya meninggal dunia karena keterlambatan akses kesehatan. Belum lagi buruh sakit parah dari luar daerah yang dipulangkan tanpa bantuan biaya pengobatan sama sekali.
Ironisnya, serikat buruh seringkali dianggap sebagai musuh oleh manajemen perusahaan. Alih-alih dihormati sebagai mitra, buruh yang ingin bergabung atau aktif di serikat justru mendapat tekanan psikologis dan intimidasi.
Menurut Agus, manajer di beberapa perusahaan bahkan melarang buruh tetap untuk masuk serikat dan mengancam pemecatan bila nekat bergabung.
Praktik ini jelas melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh yang melindungi kebebasan berserikat dan melarang segala bentuk penghalangan, mutasi, atau pemecatan yang berkaitan dengan aktivitas serikat.
Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, union busting yang marak ini menyebabkan kemiskinan dan ketidakberdayaan buruh. Tanpa jaminan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial, keluarga buruh semakin terpuruk dalam lingkaran kemiskinan.
Padahal, hampir 80 persen tenaga kerja di sektor sawit Kalbar berasal dari masyarakat lokal dan adat yang sangat bergantung pada penghasilan dari kebun sawit.
Agus Sutomo menegaskan pentingnya intervensi pemerintah pusat dan daerah untuk menegakkan hak buruh di sektor sawit. “Jangan sampai ada lagi korban yang meninggal sia-sia karena perusahaan tidak mendaftarkan BPJS,” ujarnya.
Dia mendesak pemerintah segera mengeluarkan regulasi khusus yang memberikan perlindungan ekstra bagi buruh perkebunan sawit, sekaligus menjadi acuan bagi perusahaan untuk menjalankan produksi yang berkelanjutan, tidak hanya secara lingkungan tapi juga secara sosial dan kemanusiaan.
Kasus perusahaan sawit yang menggasak hak buruh di Kalbar ini menjadi cermin suram bahwa pembangunan industri tidak bisa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Perlindungan terhadap buruh adalah bagian integral dari keberlanjutan bisnis dan keadilan sosial. Jika dibiarkan, korban terus berjatuhan, dan kepercayaan masyarakat serta pasar global terhadap industri sawit Indonesia akan terus tergerus.







Komentar Via Facebook :