https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Perpres No. 5/2025 Berpotensi Picu PHK Massal Buruh Sawit

Perpres No. 5/2025 Berpotensi Picu PHK Massal Buruh Sawit

Perkebunan sawit di kawasan hutan di Bengkulu. Foto: ist.


Jakarta, elaeis.co - Forum Jaringan Ketenagakerjaan untuk Sawit Berkelanjutan (Jaga Sawitan) mengajak semua pemangku kepentingan industri kelapa sawit duduk bersama membahas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Diskusi intensif perlu dilakukan untuk mencari solusi bersama yang saling menguntungkan bagi semua pihak baik pemerintah, pengusaha, petani maupun pekerja atau buruh sawit dalam implementasi perpres tersebut.

Presiden Jaga Sawitan, Nursanna Marpaung menilai perpres tersebut pada prinsipnya memiliki tujuan yang baik. Namun, perlu diperhatikan potensi dampak dari pelaksanaan regulasi tersebut sehingga tidak merugikan para pelaku industri sawit, termasuk para buruh.

“Kami berharap aturan ini haruslah dibicarakan oleh multipihak termasuk serikat buruh. Karena buruh akan terdampak bila perusahaan sawit merugi akibat kebijakan tersebut. Jika hal ini terjadi, tentunya perusahaan akan mem-PHK banyak pekerja sawit,” kata Nursanna dalam pernyataan resmi dikutip elaeis.co Kamis (27/2).

Dia menganggap positif upaya pemerintah dalam mengembalikan fungsi hutan. Namun, ketika lahan-lahan sawit sudah dikelola oleh sejumlah perusahaan, hal tersebut tidak bisa lepas hubungannya dengan para pekerja atau buruh di dalamnya.

“Bagaimana nanti nasib para pekerja yang ada di perusahaan-perusahan sawit yang lahannya masuk dalam kawasan hutan? Ketika pekerja nanti kehilangan pekerjaannya, apakah pemerintah sudah menyiapkan alternatif solusi terhadap hal tersebut? Apakah pemerintah sudah menyiapkan pekerjaan yang baru untuk para pekerja yang terdampak regulasi baru ini,” tukasnya.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit terdapat lebih kurang 3,3 juta hektare lahan berada di dalam kawasan hutan.

Untuk diketahui, pemerintah telah menerbitkan Perpres No 5 Tahun 2025 mengenai Penertiban Kawasan Hutan. Regulasi ini juga mengatur pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang bertugas melaksanakan penertiban kawasan hutan melalui penagihan sanksi denda administratif, pidana, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset di kawasan hutan.

Lebih jauh, Nursanna mengatakan, bahwa lahan sawit satu hektare bisa mempekerjakan 5-6 orang. “Kalau kita melihat luas lahan sawit yang masuk kawasan hutan 3,3 juta hektare, berarti berapa jumlah pekerja yang terdampak di sana. Bagaimana upaya pemerintah terkait hal ini? Ketika pemerintah melakukan penertiban kepada perusahaan-perusahaan, bagaimana dengan para buruh yang bekerja di sawit,” ucap Sekretaris Eksekutif Jejaring Serikat Pekerja/Buruh Kelapa Sawit Indonesia (Japbusi) ini.

Japbusi adalah organisasi yang mewakili lebih dari 200 ribu pekerja anggota dari 10 federasi serikat pekerja/buruh sektor sawit. Menurut dia, pelaksanaan Perpres No 5 tahun 2025 yang terlalu ketat akan mengganggu stabilitas perekonomian nasional karena industri sawit memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan negara.

“Makanya saya meminta kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto kalau boleh ditinjau ulang (Perpres No 5 Tahun 2025) dan ini masukan. Kalau boleh ada solusi-solusi terbaik untuk supaya tidak mengakibatkan PHK dan lain-lain,” jelasnya.

Apalagi kata dia, keberadaan lahan-lahan sawit yang dinilai masuk dalam kawasan hutan sebelumnya telah mendapatkan izin dari pemerintahan yang lalu. Dan para pengusaha juga telah mengeluarkan banyak modal untuk berinvestasi sawit. Meski bukan pengusaha, namun dia mengetahui bagaimana perjuangan para pengusaha sawit dalam memulai usahanya seperti membuka lahan dan lainnya.

“Saya kira kalau lahan sawit harus dikembalikan menjadi hutan, itu ide bagus. Tapi kalau jadi negara yang mengambil alihnya, tinggal diberikan solusi ke perusahaan. Misalnya perusahaan boleh mengelola sampai habis masa kontraknya dengan syarat dan ketentuan berlaku. Mungkin seperti itu,” tuturnya.

Pada intinya pemerintah harus melihat dulu status asal masing-masing lahan-sawit saat dahulu memperoleh izin membuka hutan untuk tanaman sawit. “Pemerintah bisa meninjau ulang jika ini diberikan HGU, dasarnya apa. dan ketika sekarang harus dikembalikan ke negara juga perlu dipertimbangkan hal hal tadi, supaya tidak merugikan juga para buruh yang ada disana. Kepentingan saya sih bagaimana buruh terlindungi tetap bekerja. Negara bisa rugi kalau perusahaan rugi karena sumbangan dari industri sawit kan besar. Makanya harus ada win win solution,” pungkasnya.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :