https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Perpres 5/2025 Dikritik, Pakar Hukum Nilai Tak Sejalan dengan UU 6/2023

Perpres 5/2025 Dikritik, Pakar Hukum Nilai Tak Sejalan dengan UU 6/2023

Prof. Agus Surono. Dok.Istimewa


Jakarta, elaeis.co - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan baru seumur jagung, tapi sudah menuai sorotan keras. Kritik paling lantang datang dari akademisi hukum, Prof. Agus Surono, Guru Besar Hukum sekaligus Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Pancasila.

Menurut Agus, Perpres tersebut tidak sinkron dengan semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, terutama terkait penerapan sanksi hukum.

“UU 6/2023 menekankan sanksi administratif sebagai langkah utama. Pemidanaan itu jalan terakhir, bukan yang pertama. Tapi Perpres ini justru masih menonjolkan pidana. Itu yang keliru,” tegas Agus dalam keterangannya, Rabu (17/9).

Salah satu pasal krusial yang dipersoalkan ada di Pasal 4 sampai 7 Perpres 5/2025, yang mengatur pidana bagi pelanggaran penertiban kawasan hutan. Agus menilai hal ini problematis karena aturan pidana semestinya hanya bisa diatur lewat undang-undang atau perda, bukan perpres.

“Kalau pidana diletakkan di perpres, itu melanggar asas hukum. Pidana adalah ultimum remedium, bukan primum remedium,” ujarnya.

Ia mengingatkan, penggunaan pidana secara terburu-buru bisa mencederai prinsip keadilan dan menciptakan ketidakpastian hukum. Padahal, ide besar Cipta Kerja justru mengutamakan penyelesaian administratif terlebih dahulu, seperti teguran, denda, hingga pencabutan izin.

Agus menilai, ada tiga lapis persoalan yang membuat Perpres ini bermasalah: filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dari sisi filosofis, ia menekankan bahwa prinsip ultimum remedium sejalan dengan amanah Pasal 33 UUD 1945. 

Menurutnya, hutan bukan sekadar objek hukum yang bisa diperlakukan kaku, melainkan penopang hidup yang menyediakan udara, air, tanah, serta keanekaragaman hayati. “Jadi, tak bisa serta-merta dipidana,” ujarnya.

Dari aspek sosiologis, hutan jelas memiliki fungsi sosial dan ekonomi. Ia menyumbang devisa, membuka lapangan kerja, hingga menopang program perhutanan sosial. Jika setiap pelanggaran langsung diseret ke ranah pidana, kata Agus, pihak yang paling dirugikan justru masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari hutan.

Sementara itu, dari aspek yuridis, ia mengingatkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah menegaskan kewajiban negara untuk melindungi hak masyarakat serta membedakan hutan negara dengan hutan adat. Putusan Nomor 45/2021, 34/2021, hingga 35/2021, menurutnya, menjadi rambu hukum yang tak boleh diabaikan.

"Kalau dasar hukumnya cacat, otomatis kebijakan turunannya ikut bermasalah,” katanya.

Agus mendesak pemerintah untuk melakukan koreksi regulasi. Jika tidak, Perpres 5/2025 bisa tumpang tindih dengan UU 6/2023 maupun PP 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif.

“Kalau niatnya menertibkan hutan, pakai jalur administrasi yang transparan dan memberi kepastian hukum. Jangan buru-buru menjerat pidana,” tandasnya.

Kritik ini, kata Agus, harus jadi alarm bagi pemerintah agar tidak memproduksi aturan yang justru memicu sengketa hukum di kemudian hari.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :