https://www.elaeis.co

Berita / Internasional /

Peraturan EUDR Merugikan Petani Kecil, DOPPA Sarawak Melawan

Peraturan EUDR Merugikan Petani Kecil, DOPPA Sarawak Melawan

Napolean Royal Ningkos saat mengikuti acara di Brussel. foto: ist


Sarawak, elaeis.co - Asosiasi Pekebun Kelapa Sawit Dayak Sarawak atau Dayak’s Oil Palm Planters Association (DOPPA) memprotes Human Rights Watch (HRW).

Protes ini mencuat setelah organisasi yang berkantor di New York Amerika Serikat itu meminta agar Uni Eropa memasukkan Sarawak --- negara bagian Malaysia yang berada di pulau Kalimantan --- ke dalam kategori 'Resiko Tinggi' deforestasi. 

Yang membikin DOPPA jengkel, sederet alasan yang disodorkan oleh HRW kepada Uni Eropa dalam suratnya setebal 38 halaman pada 21 Mei 2024, identik dengan hal yang mengada-ada dan memutarbalikkan fakta. 

"HRW telah mengeksploitasi definisi "hutan" yang ada dalam pasal peraturan European Union Deforestasion Free Regulation (EUDR) dengan memasukkan hutan yang beregenerasi secara alami (semak belukar) sebagai bagian dari deforestasi di Sarawak," kata Presiden DOPPA, Napolean Royal Ningkos kepada elaeis.co kemarin. 

Berdasarkan hasil ekspolitasi definisi "hutan" itu pula, HRW kemudian membuat klaim palsu bahwa ada jutaan hektar hutan hujan kuno di Sarawak yang berisiko akan ditebang untuk menjadi perkebunan kelapa sawit. 

"Kalau apa yang disampaikan oleh HRW dan definisi "hutan" yang dibuat Uni Eropa menjadi acuan, maka pembukaan lahan yang dilakukan oleh sepupu saya tiga tahun lalu, akan disebut pembukaan hutan. Sebab lahan yang dibuka itu adalah lahan regenerasi alami berupa semak belukar setinggi lebih dari 5 meter. Apakah EUDR akan mengecualikan minyak sawit Sarawak hanya gara-gara itu?" dia bertanya. 

Menurut Napolean, definisi "hutan" dalam EUDR merupakan serangan terhadap hak masyarakat adat Sarawak untuk memutuskan apa yang harus dilakukan atas tanah leluhur mereka. 

"Dan sebenarnya definisi UE tentang hutan alam, itu tidak boleh diberlakukan kepada tanah Hak Adat Asli atau Native Customary Right (NCR) di Sarawak. Sebab wilayah ini telah dikembangkan jauh sebelum EUDR diberlakukan," tegasnya.

Di Sarawak kata Napoleon, masyarakat pribumi mengolah tanah NCR untuk budidaya kelapa sawit. Itu mereka  lakukan demi meningkatkan status sosial ekonomi, biar terbebas dari belenggu kemiskinan.
 
"Bila pembatasan EUDR pada pembukaan area penanaman baru untuk kelapa sawit diberlakukan, itu sama saja dengan upaya penolakan terhadap hak masyarakat adat untuk mengolah tanahnya sendiri," ujarnya. 

Kejadian semacam ini menurut Napolan adalah menjadi bukti Uni Eropa gagal melibatkan masyarakat adat sebelum memberlakukan EUDR itu. 

Kegagalan ini diperparah pula oleh munculnya  kelompok-kelompok seperti HRW untuk mendorong agenda mereka terhadap kelapa sawit. 

"Mestinya HRW mengajak kami diskusi terlebih dahulu sebelum minyak sawit Sarawak dimasukkan ke dalam  kampanye negatif mereka," sesal Napolean.

"Kalau kemudian HRW memasukkan Sarawak dalam kategori 'resiko tinggi', itu sama saja dengan menyuruh kami kembali tinggal di hutan. Asal tahu saja, kami bisa  hidup seperti sekarang, yang sebenarnya menjadi hak kami untuk hidup berdampingan dengan masyarakat maju, perjuangan kami sangat panjang," Napolean menegaskan. 

Lantaran dianggap telah menjadi sebuah ancaman bagi penghidupan masyarakat adat yang kehidupan ekonominya kini bergantung pada kelapa sawit, DOPPA kata Napolean akan terus menyuarakan penolakannya terhadap EUDR itu.

Napolean juga menolak klaim HRW yang mengatakan bahwa kebijakan penggunaan lahan pemerintah negara bagian Sarawak tidak transparan.

"Justru kebijakan negara sangat jelas dan transparan. Bahwa telah ada peraturan yang mengatur tidak boleh ada penanaman kelapa sawit baru kecuali di tanah NCR," tegasnya.

Keseriusan itu diperlihatkan oleh pemerintah negara bagian dengan memberlakukan mekanisme verifikasi status tanah NCR melalui One Stop Centers. 

Perintah negara bagian mendorong masyarakat adat untuk menanam kelapa sawit di tanah NCR itu sepanjang kelapa sawit memang mampu meningkatkan status sosial ekonomi mereka. 

"Hingga September 2024, dari sekitar 2 juta hektar tanah NCR yang ada di Sarawak, 1,13 juta hektar telah dipetakan. Fakta ini telah membantah pernyataan HRW bahwa klaim tanah adat di Sarawak tidak transparan," terang Napolean.

Lantaran peraturan EUDR tadi dianggap telah merugikan hak-hak masyarakat adat yang menjadi petani kecil kelapa sawit di Sarawak, DOPPA pun menyerukan agar petani kecil kakao, kopi, dan kelapa sawit di seluruh dunia turut bersama-sama menyerukan agar Uni Eropa mengecualikan petani kecil dari aturan-aturan EUDR itu. 

Aksi protes dan penolakan terhadap aturan main yang diberlakukan oleh Uni Eropa dalam EUDR nya tidak hanya dilakukan oleh DOPPA. 

Di Indonesia, sejumlah perkumpulan petani kelapa sawit seperti Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Sawitku Masa Depanku (SAMADE), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (ASPEK-PIR) dan Santri Tani Indonesia, malah telah pernah menggelar aksi demo di depan kantor kedutaan Uni Eropa di Jakarta pada Maret tahun lalu. 

Para ketua tiga asosiasi petani sawit dan Santri Tani Indonesia ini sempat ketemu langsung dengan Wakil Duta Besar Uni Eropa, Stephane Francois Mechati.

Kepada Stephane mereka menyerahkan petisi surat berupa penolakan EUDR dan meminta aturan itu dicabut. "Bukan direvisi, tapi dicabut," begitu kata Ketua Umum APKASINDO, Gulat Medali Emas Manurung, waktu itu. 

Lelaki 52 tahun ini malah sempat dengan tegas mengatakan bahwa pihaknya tidak akan segan-segan untuk memboikot produk Uni Eropa bila petisi itu tidak digubris oleh Uni Eropa.

Berikut isi lengkap petisi itu; 

1. Mencabut penargetan EUDR terhadap petani sawit indonesia. Uni Eropa harus menarik pasal dalam peraturan deforestasi yang secara tidak adil menargetkan petani non-Eropa dan membebaskan petani dari EUDR. Sepatutnya tidak ada diskriminasi dalam hal ini.

2. Mencabut pelabelan 'Risiko Tinggi' untuk negara Indonesia yang menjadi objek dari peraturan ini.

3. Menghormati dan mengakui standar ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) serta peraturan terkait sawit yang berlaku di Indonesia. Dalam skema sertifikasi ISPO telah diwajibkan bagi semua pelaku industri minyak sawit Indonesia, termasuk petani. Regulasi di Indonesia sudah mendukung upaya intensifikasi melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan menolak deforestasi.

4. Memastikan Uni Eropa kedepannya tidak lagi menyerang dan mendiskreditkan tanaman kelapa sawit sebagai tanaman penyebab deforestasi.

5. Permintaan Maaf: Uni Eropa secara tertulis kepada jutaan petani sawit yang akan terdampak kebijakan diskriminatif EUDR.

Guru Besar IPB University, Budi Mulyanto, tidak menampik apabila aturan main EUDR tadi akan menjadi polemik di banyak negara, khususnya terkait pendefinisian tentang hutan. 

"Saya ingin mengatakan tentang Indonesia. Di Indonesia, definisi hutan jelas telah ada dalam undang-undang. Nah, di EUDR, semak belukar itu juga digolongkan hutan," katanya. 

Padahal menurut mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (BPN) ini, fungsi hutan dan semak belukar sangat berbeda.  

"Bahwa semak belukar itu adalah suksesi hutan, iya. Tapi dalam kondisi tertentu. Bila di satu negara penduduk terus bertambah, maka semak belukar tidak akan menjadi hutan. Namun sebaliknya, bila penduduk berkurang, semak belukar akan menjadi hutan," dia mengurai.

Meski suksesi hutan tadi bergantung pada kepentingan manusianya, bukan berarti semuanya akan dilakukan secara serampangan. "Tentu harus dilakukan dengan cara yang beradap. Harus tahu dimana yang pantas dikelola dan tidak," ujarnya. 


 

Komentar Via Facebook :