https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Perang Dagang AS-Tiongkok Makin Sengit, Ekspor Minyak Sawit Diprediksi Melejit

Perang Dagang AS-Tiongkok Makin Sengit, Ekspor Minyak Sawit Diprediksi Melejit

Kuntoro Boga Andri. foto: Kementan


Jakarta, elaeis.co – Kebijakan tarif tinggi oleh pemerintahan Donald Trump menyebabkan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok makin tegang. Perdagangan global pun ikut terguncang.

Namun di balik adu kekuatan dua raksasa ekonomi itu, Indonesia justru mendapat celah untuk memperkuat posisi ekspor salah satu komoditas andalannya, yaitu minyak sawit. Ketika kedua negara itu saling berbalas menaikkan tarif impor, pasar global mengalami pergeseran besar-besaran.

Salah satu dampak paling nyata adalah berkurangnya pasokan minyak kedelai di Tiongkok akibat tarif tinggi terhadap impor kedelai asal AS. Di tengah kekosongan itu, minyak sawit Indonesia muncul sebagai alternatif utama yang langsung mengisi kebutuhan pasar.

Menurut Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP) Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, perang dagang ini secara tidak langsung membuka jalan bagi ekspor sawit Indonesia untuk masuk lebih dalam ke pasar Tiongkok. Ia menyebut momen tersebut sebagai peluang strategis yang harus terus dijaga dan dimaksimalkan.

“Ketika pasokan minyak kedelai terganggu karena kebijakan tarif, Tiongkok tidak bisa tinggal diam. Mereka butuh pasokan pengganti yang kompetitif, dan di situlah Indonesia datang dengan minyak sawit,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Senin (21/4).

Kuntoro menjelaskan bahwa sejak 2019, ekspor minyak sawit Indonesia ke Tiongkok mengalami lonjakan signifikan. Data menunjukkan bahwa impor minyak sawit Tiongkok mencapai rekor tertinggi 7,6 juta ton pada 2019, hanya setahun setelah perang dagang dengan Amerika Serikat dimulai.

Mayoritas minyak sawit tersebut berasal dari Indonesia, mengingat posisi negara ini sebagai produsen sekaligus eksportir sawit terbesar dunia. Dengan pangsa produksi global mencapai 59 persen, Indonesia menjadi pemain dominan dalam suplai minyak nabati global.

Tak hanya minyak mentah (CPO), Indonesia juga mulai mengekspor produk turunan sawit seperti biodiesel. Kuntoro mengatakan bahwa sektor hilirisasi ini memainkan peran penting dalam memperkuat daya saing produk sawit Indonesia di pasar global.

“Tiongkok kini juga mulai melirik energi hijau. Produksi biodiesel kita yang mencapai lebih dari 11 juta kiloliter pada 2022 menjadi bukti kesiapan kita dalam merespons tren global,” katanya.

Menurutnya, sekitar 436 ribu ton biodiesel diekspor Indonesia ke pasar Tiongkok pada tahun tersebut. Capaian ini berdampak positif bagi petani sawit dalam negeri. Harga sawit yang menguat mendorong semangat petani untuk memperluas areal tanam dan melakukan peremajaan kebun.

Kuntoro menyebut bahwa program replanting atau peremajaan kebun rakyat terus didorong demi menjaga suplai CPO tetap stabil dan berkelanjutan. “Ini momen penting untuk membenahi kebun sawit rakyat. Dengan harga yang menguntungkan, petani memiliki insentif yang kuat untuk meningkatkan produktivitasnya,” ujarnya.

Kementerian Pertanian juga menekankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor sawit. Meskipun Tiongkok dan India menjadi dua tujuan utama, Indonesia terus membuka akses ke negara-negara baru seperti Pakistan, Timur Tengah, hingga Afrika. Hal ini dinilai penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu pasar saja.

“Semakin banyak negara tujuan ekspor, semakin kuat posisi tawar kita di pasar global,” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa perang dagang AS-Tiongkok telah memberi pelajaran penting bagi Indonesia bahwa adaptasi cepat dan diversifikasi pasar adalah kunci. Di tengah ketidakpastian global, sektor sawit Indonesia harus menemukan momentumnya untuk tumbuh lebih kuat dan lebih luas.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :