https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Penjualan CPO Belum Lancar di Bengkulu

Penjualan CPO Belum Lancar di Bengkulu

Ketua GAPKI Cabang Bengkulu, John Irwansyah Siregar. (Jos/Elaeis)


Bengkulu, elaeis.co - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyampaikan, meski pemerintah telah mencabut larangan ekspor CPO pada 23 Mei 2022 lalu, tidak serta merta membuat perdagangan CPO di daerah menjadi lancar. 

Bahkan saat ini masih banyak CPO yang belum laku terjual. Sehingga mengakibatkan pabrik kelapa sawit (PKS) memilih untuk membatasi pembelian tandan buah segar (TBS) dari petani.

Ketua GAPKI Cabang Bengkulu, John Irwansyah Siregar mengatakan, pencabutan larangan tidak serta-merta membuat ekspor CPO kembali lancar. Kendati beberapa perusahaan sudah melakukan kontrak penjualan kepada eksportir, namun belum melakukan pengiriman akibat masih menunggu kapal pengangkut. Belum lagi masih ada beberapa PKS yang belum mendapatkan pembeli.

"Seluruh PKS di Bengkulu belum begitu lancar menjual CPO, ada yang sudah kontrak tapi belum dikirim CPO-nya. Bahkan ada yang belum sama sekali mendapatkan pembeli," kata John, kemarin.

Selain itu, ditambah lagi kebijakan flush out untuk mengosongkan tangki CPO yang belum sepenuhnya terlaksana akibat ekspor yang belum berjalan normal. Akibatnya penyerapan TBS milik petani oleh PKS tidak berjalan begitu maksimal.

"Kebijakan flush out belum berjalan, sehingga PKS sulit untuk menyerap TBS petani," tuturnya.

Melihat kondisi tersebut, John berharap, pemerintah daerah bisa membantu PKS di daerah. Salah satunya berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Pasalnya, jika penjualan CPO di Bengkulu tidak lancar maka dampaknya tidak hanya ke PKS tetapi juga ke petani kelapa sawit.

Karena kondisinya seperti itu, dalam waktu dekat ini John berencana berkoordinasi dengan Gubernur Bengkulu. Pasalnya, jika permasalahan ini tidak terselesaikan, maka PKS di Bengkulu terancam tutup dalam jangka waktu yang lama sampai seluruh CPO terjual. Karena PKS tidak mungkin melakukan kegiatan operasional, sementara hasil produksi belum ada yang laku.

"Ini kekhawatiran kita, jangan sampai banyak PKS tutup gara-gara CPO sulit dijual," tuturnya.

Ia menyarankan, pemerintah untuk mengambil langkah darurat untuk keberlangsungan pengusaha dan petani kelapa sawit. Salah satunya dengan meningkatkan pemakaian CPO untuk bioenergi di tengah meroketnya harga bahan bakar fosil. 

"Saya pikir pemerintah bisa menyerap CPO untuk biodiesel mengingat harganya saat ini cukup mahal mencapai US$113,4 per barel. CPO bisa dimanfaatkan untuk menaikkan B-30 menjadi B-40," ujar John.

Disisi lain, pihaknya juga berharap, pemerintah daerah dapat mendatangkan investor untuk membangun pabrik minyak goreng. Apalagi berdasarkan kapasitas produksi CPO, Bengkulu mampu memproduksi minyak goreng sendiri. Sehingga Bengkulu tidak perlu minyak goreng dari luar provinsi lagi nantinya.

"Kita berharap ada pabrik minyak goreng di Bengkulu, produksi CPO kita 1 juta ton per tahun, kalau itu dijadikan minyak goreng tentu bisa memenuhi kebutuhan untuk masyarakat Bengkulu," ujarnya.

Selain itu, John mengaku, dengan adanya pabrik minyak goreng, penyerapan TBS dari petani juga akan lebih maksimal. Sebab produksi CPO di daerah akan diserap oleh pabrik tersebut. Sehingga tidak ada lagi pembatasan pembelian CPO dari PKS di Bengkulu.

"Dampaknya jelas baik untuk daerah kalau ada pabrik minyak goreng di Bengkulu, produksi CPO terserap, TBS petani juga akan ikut terserap oleh PKS," tutupnya

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :